Cukup Darsem

Berita pedih dari dunia TKI kembali mencuat. Darsem, TKI yang mencoba membela dirinya dari siksaan majikannya, kini harus berjuang melewati ancaman hukuman mati yang ditimpakan kepadanya.
Harapannya jelas, ada tangan-tangan yang mau berkorban dengan tulus untuk berdiri di pihaknya dan mau memperjuangkan hak yang paling tidak bisa membuatnya dibebaskan dari hukuman pancung.
Darsem merupakan salah satu dari sekian banyak TKI yang menjadi korban pelanggaran HAM di negara tempat dia bekerja. Para TKI yang selalu dibangga-banggakan dengan julukan pahlawan devisa, dalam realitanya merupakan warga negara yang hak-haknya kurang dilindungi. Tak sedikit dari para TKI yang kehilangan nyawanya atau mengalami cacat permanen karena penyiksaan yang dilakukan oleh para majikan. Berbagai macam protes yang telah disuarakan oleh para aktivis HAM untuk keselamatan dan kenyamanan para TKI, tak kunjung disambut pemerintah dengan kebijakan yang benar-benar berdampak.
Pelanggaran HAM atas TKI bukanlah hal yang terjadi secara spontan. Maraknya pelanggaran HAM atas para TKI memberikan gambaran kepada kita bahwa di mata majikannya, para TKI memiliki martabat yang rendah. Kebanyakan dari TKI hanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Nasib mereka cukup terlantar, dan tak sedikit dari mereka yang berpotensi untuk bertindak seperti Darsem.
Di dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1, jelas tertulis bahwa hak warga negara Indonesia dilindungi oleh negara atau dengan kata lain pemerintah. Perlindungan terhadap Darsem dan TKI lainnya merupakan tugas dari pemerintah. Saat ini Darsem membutuhkan kurang lebih Rp. 4,6 milyar sebagai syarat pembebasannya dari hukuman pancung. Sanggupkah pemerintah beserta lembaga-lembaga bentukannya melunasinya? Banyak lembaga yang selama ini mengaku bertanggung jawab dan peduli terhadap TKI namun tak satupun yang secara resmi menyatakan akan menanggung biaya diyat dari Darsem.
Kalaupun pada akhirnya pemerintah sanggup memberikan Rp. 4,6 milyar untuk Darsem dan berhasil membebaskan Darsem dari hukuman pancung, kemungkinan akan terjadi kasus yang sama akan tetap ada dan tidak berkurang sama sekali. Pemerintah tak mungkin sanggup merubah watak dan pemikiran dari majikan para TKI apalagi merubah ketentuan hukum yang berlaku di Arab Saudi. Tanpa adanya jaminan perlindungan yang jelas dan kuat dari pemerintah untuk para TKI, penyiksaan akan tetap berlanjut dan perlawanan dari para TKI yang mungkin berujung pada pembunuhan akan tetap terjadi.
Meninjau Ulang
Pemerintah lebih baik meninjau ulang kebijakannya yang selama ini menempatkan TKI sebagai korban. Ada beberapa poin masalah yang harus diperhatikan pemerintah untuk menanggapi hal ini. Pertama, pengiriman TKI selalu lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas. TKI yang dikirim kebanyakan tidak memiliki skill yang bisa diandalkan sehingga pada akhirnya hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Pemerintah hanya melihat kuantitasnya saja dan kemudian berdalih bahwa semakin banyak TKI yang diberangkatkan akan semakin banyak devisa yang diperoleh.
Kedua, pendidikan di negeri kita masih bobrok. Pendidikan kita belum mampu mencerdaskan masyarakat secara merata sehingga hanya sebagian orang yang bisa mendapat profesi yang layak sesuai pengetahuannya. Sementara yang lainnya, harus "mengemis" mencari nafkah tanpa bisa mengandalkan pendidikannya. Tingginya tuntutan kesejahteraan membuat mereka mau bekerja apa saja demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Ketidakcerdasan pula yang membuat banyak TKI yang tertipu oleh agen TKI yang ilegal.
Ketiga, minimnya lapangan kerja. Minimnya lapangan kerja membuat berbagai alternatif pemenuhan kebutuhan ekonomi diterima oleh masyarakat termasuk dengan mengadu nasib ke luar negeri walaupun hanya sebagai pembantu rumah tangga, sekalipun santer terdengar di media tentang penyiksaan para TKI. Kurangnya pendidikan dan lapangan kerja ditambah lagi tawaran gaji tinggi di luar negeri, membuat mereka bersedia berangkat menuju "dunia penyiksaan".
Ketiga poin di atas merupakan faktor penyebab rendahnya martabat TKI di mata internasional. Indonesia tidak memiliki daya tawar yang tinggi untuk para tenaga kerjanya karena jumlahnya yang terlalu banyak dan hanya sedikit yang berkemampuan. Perlindungan terhadap mereka pun tidak kuat. Alhasil, TKI hanya dijadikan bulan-bulanan di negeri orang.
Sudah saatnya pemerintah mengecilkan kran penyaluran tenaga kerja dengan memperbanyak lapangan kerja di dalam negeri dan terlebih dahulu mendidik masyarakat agar menjadi pekerja yang berkualitas, atau bahkan menjadi pencipta lapangan kerja baru. Pemberian gelar pahlawan devisa buat para TKI merupakan suatu pembenaran. Betapa tragisnya negeri ini kalau pemasukan devisanya disandarkan pada "impor" tenaga kerja.
Tindakan Darsem merupakan ketukan yang sangat keras bagi pemerintah. Betapa ia mewakili ketertindasan para TKI di negeri lain. Ia terpaksa harus menanggung beban mental yang sangat berat dimana ia telah menjadi seorang pelaku kriminal hanya demi membela diri. Pemerintah yang memiliki kekuatan mengubah, sudah sepantasnya mengubah kondisi ini. Cukup Darsem yang harus berkorban, TKI butuh keselamatan, perlindungan dan jaminan, bukan sekedar gelar pahlawan devisa yang sama sekali tak menjawab ketertindasan. ***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 12  Maret 2011)

Pemberhentian Film Hollywood, Baguskah?


Di beberapa bioskop besar di tanah air, film-film Hollywood yang biasanya menjadi penarik utama di papan jadwal penayangan tak lagi tampak.
Film yang ditayangkan kini telah berganti dengan film-film produk dalam negeri yang dianggap mampu menjaga stabilitas pasar dimana para pengunjung tetap setia mendatangi bioskop.
Banyak yang menanggapi hal ini dengan positif, karena momen seperti ini merupakan pintu bagi peningkatan kualitas perfilman dalam negeri. Namun banyak pula yang kecewa karena banyak pihak yang kehilangan keuntungan karena berhentinya pemasokan film impor tersebut.
Pemberhentian film impor merupakan dampak yang timbul dari ketidakpastian perihal bea masuk bagi film-film impor. Ketidakpastian ini berawal dari dikeluarkannya surat edaran Ditjen Pajak berdasar keputusan Menteri No.3 Tanggal 10 Januari 2011 tentang penetapan bea masuk atas hak distribusi film impor. Keputusan ini dianggap merugikan para importir sehingga pihak distributor film Amerika, Motion Picture Association (MPA), memutuskan untuk tidak lagi mendistribusikan seluruh film Amerika selama ketentuan bea masuk baru atas hak distribusi film impor itu masih diberlakukan.
Pemberhentian ini jelas merupakan ancaman bagi keberlangsungan bioskop-bioskop di Indonesia. Para konsumen film di Indonesia yang kebanyakan lebih menyukai film-film Hollywood daripada film dalam negeri, mengaku kecewa karena menilai bahwa film Hollywood secara keseluruhan memang lebih berkualitas baik dari segi ide cerita maupun dari segi teknologi.
Film Hollywood menawarkan cerita yang lebih mendalam dan lebih menggerakkan emosional penonton karena konsep-konsepnya lebih liberal, atau sederhananya, lebih berani dari film Indonesia.
Sedangkan film Indonesia sendiri, cenderung menyerah pada pasar sehingga nilai-nilai plus yang unik sangat jarang ditemukan di setiap film. Hampir di semua genre terdapat banyak film yang konsepnya sama dan hanya dibedakan oleh tokoh dan jalan ceritanya saja.
Jika ada satu film yang sedang booming, maka keluarlah banyak film yang tidak jauh dari film tersebut hingga akhirnya temanya basi dan kualitasnya tidak lagi dianggap bagus di kemudian hari. Keadaan inilah yang membuat para konsumen film di Indonesia mau ‘mengkhianati’ produk dalam negeri, dan lebih memilih untuk menikmati film-film Hollywood.
Gaya Hidup
Kedatangan film-film impor ke bioskop-bioskop besar di tanah air telah membawa banyak perubahan di tengah-tengah masyarakat kita. Mulai dari gaya hidup, tren berpakaian, pola pikir, bahkan cara melakukan hubungan sosial sangat banyak diadopsi oleh masyarakat Indonesia dari kisah-kisah yang terpampang di film Hollywood. Film impor tersebut menjadi media yang mampu memperkenalkan budaya barat kepada masyarakat kita secara intens.
Banyak orang yang mengambil pelajaran dari film-film Hollywood, misalnya dengan meniru cara orang barat menyatakan cinta, atau dengan mengetahui cara orang barat memahami dunia.
Bagi peminat sejarah, Hollywood merupakan jawaban yang baik untuk mendalami zeitgeist suatu peristiwa masa lampau karena film-film sejarah Hollywood sering dibuat dengan teknologi yang baik dan sesuai, dan dirangkai dengan pemahaman yang tinggi tentang ilustrasi sejarah. Bagi para kreator film dalam negeri, Hollywood sering dijadikan referensi untuk membuat film-film yang berstandar internasional.
Di balik kelebihan tersebut, film impor, terkhusus Hollywood, turut membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat kita. Kedatangan film impor ke Indonesia menekankan keberadaan westernisasi sebagai hal yang tak terelakkan lagi. Dalam mind set masyarakat Indonesia, mulai tertanam kenyataan bahwa budaya barat itu adalah yang benar, modern, dan keren jika ditiru. Konsumsi yang kontinu membuat westernisasi secara perlahan menjadi suatu kebiasaan dan sulit untuk dilupakan.
Cerita-cerita yang memang menarik, menjadi lem perekat yang jitu bagi westernisasi tersebut.
Gedung-gedung besar, barang mewah, dan hal-hal lain yang belum ada di Indonesia telah berhasil memperbesar hasrat untuk menjadi seperti barat. Kehebatan-kehebatan dunia barat juga membuat masyarakat semakin mengelu-elukan ide-ide barat sekalipun ide tersebut tidak menguntungkan atau bahkan merugikan.
Selain itu, film Hollywood menjadikan sebagian besar masyarakat Indonesia tunduk pada fantasi sehingga malas melakukan hal-hal konkret yang membangun.
Kebijakan
Baik-buruk film Hollywood telah lama diterima oleh masyarakat kita dan kini telah menjadi salah satu kebutuhan terutama bagi masyarakat di kalangan remaja.
Hal ini terbukti dari suburnya perkembangan bisnis bioskop yang terlihat jelas di berbagai pusat kota. Bagi kaum muda, menonton film barat di hari libur atau di malam minggu menjadi sarana yang baik untuk refreshing baik sendiri, bersama teman, maupun kekasih.
Di bidang ekonomi, pengimporan film yang memperkaya deretan film-film berkualitas yang bisa ditayangkan di tanah air, menjadi penunjang terbukanya lapangan pekerjaan seiring berkembangnya bioskop.
Kebijakan ekonomi pula yang membuat film Hollywood dan film impor lainnya terpaksa diberhentikan. Para pengusaha bioskop menilai hal ini sebagai suatu ancaman karena film-film produk nasional masih diragukan kemampuannya untuk menggantikan kualitas-kualitas yang selama ini disuguhkan film impor.
Akan tetapi, pembangunan merupakan suatu proses. Budaya mencintai produk dalam negeri merupakan hal yang hanya bisa dimulai dengan kebiasaan. Ditetapkannya bea masuk bagi pendistribusian film impor adalah sebuah keberpihakan terhadap produk dalam negeri dimana kesempatan untuk semakin gencar berkarya dan menunjukkan kualitas semakin terbuka.***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 23 Februari 2011)

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...