“Butet, seorang dara jelita, mempunyai kebiasaan untuk bercermin di air danau Toba sebelum berangkat ke tempat kerjanya. Kecantikannya yang terpantul dari beningnya permukaan danau membuat hatinya menjadi tentram. Tapi di suatu hari, saat mencoba bercermin, dia terkejut. Butet berlari sambil menangis. Dia merasa terguncang karena air danau Toba tak mau lagi memantulkan kecantikannya. Danau Toba mengecewakannya karena hanya menampilkan kerumunan eceng gondok berhiaskan kotoran-kotoran minyak kapal pada permukaannya.”
Kutipan cerita di atas merupakan salah satu cerita fiktif yang bisa kita jadikan refleksi atas kondisi danau Toba sekarang ini. Danau Toba yang selama ini dibangga-banggakan sebagai objek wisata yang mampu menambah nilai plus Indonesia di mata internasional kini sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Pencemaran air danau, penebangan hutan yang semakin menjadi-jadi, dan berjalannya berbagai aktifitas industri di sekitar perairan danau membuat danau Toba kehilangan pesonanya.
Masalah yang ditimbulkan oleh pencemaran ini tidak hanya berdampak pada keindahan danau Toba, tetapi juga berpengaruh pada kondisi masyarakat sekitarnya. Penduduk sekitar danau yang kebanyakan bekerja sebagai petani ikan, mulai kehilangan mata pencahariannya. Banyak petani ikan yang tidak bisa melanjutkan usahanya hingga beberapa waktu lamanya akibat banyaknya virus yang tersebar di perairan danau. Kasus matinya ratusan ton ikan menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam pengelolaan kawasan danau Toba. Masyarakat terjebak dalam kondisi ini karena lapangan pekerjaan yang bisa dijadikan alternatif jumlahnya sangat minim.
Arus modernisasi pada awalnya memang membawa dampak positif bagi pembangunan di sekitar kawasan danau. Dengan masuknya modernisasi, pemerintah semakin mudah mengelola daerah wisata tersebut baik dari segi transportasi, akomodasi sampai pengelolaan promosi. Akan tetapi, dampak buruk yang dibawa arus tersebut juga membahayakan. Perkembangan industri yang disertai rasa individualisme telah membuat wilayah kebanggaan suku batak ini kehilangan jati dirinya.
Noda individualisme
Hal utama yang mendasari kerusakan alam di danau Toba adalah sifat kaum pemodal dan pemerintah yang semakin individualis. Danau Toba dulunya adalah danau yang terkenal dan digemari karena nuansa alami yang diberikannya. Airnya yang bening membiru, lahan-lahan yang hijau, dan kebudayaan asli suku Batak merupakan daya tarik utama bagi para pelancong yang datang ke danau Toba. Keberadaan danau Toba merupakan nilai plus yang sangat membanggakan bagi negara ini.
Tetapi hal tersebut tak lagi kita temukan pada saat ini. Danau Toba saat ini tak lebih dari kumpulan air yang tercemar tanpa keindahan alamiah. Keberadaan kaum pemodal yang individualis telah merusak keindahan danau Toba. Pohon-pohon ditebangi melebihi target hingga merusak ekosistem. Pabrik-pabrik didirikan di sekitar danau dan menjadi penyumbang limbah. Air danau terkontaminasi kotoran minyak kapal yang tidak terkontrol. Demi keuntungan pribadi, para pemodal terus melangsungkan usahanya tanpa memikirkan nasib penduduk setempat dan keadaan alam yang menjadi korban.
Masalah danau Toba pun bertambah rumit dengan sifat individualisme yang dimiliki pemerintah. Pemerintah terkesan ‘cuek’ dalam menanggapi kesemerawutan di kawasan danau. Eceng gondok tumbuh liar. Pemasangan keramba tempat pemeliharaan ikan dilakukan secara sembarang. Hotel-hotel, tempat parkir, fasilitas umum, dan berbagai areal permukiman didirikan tanpa susunan yang teratur. Keadaan ekonomi penduduk di sekitar danau tak mendapat perhatian khusus. Pembangunan-pembangunan yang terlaksana di daerah danau Toba kebanyakan merupakan proyek dari pemodal asing.
Melihat fakta yang berlangsung, pemerintah sepertinya tidak mau ambil pusing terhadap usaha-usaha para pemodal, terutama pemodal asing yang meraup keuntungan besar dari masalah-masalah tersebut. Penduduk setempat dibiarkan miskin dan bahkan termarjinalkan. Keberadaan industri terbukti merusak alam bahkan menghilangkan jati diri danau Toba. Individualisme yang sepertinya sudah membatu di kalangan pemerintah dan pemodal telah merubah keberadaan danau Toba menjadi tempat penindasan, dimana penduduk setempatlah yang menduduki posisi tertindas. Keberadaan pemodal dengan wadah pembangunan dan modernisasi telah membawa danau Toba ke arah masa depan yang buram.
Bercermin
Masalah yang dialami danau Toba merupakan cerminan dari masalah yang dialami oleh negara Indonesia secara keseluruhan. Indonesia saat ini dipenuhi oleh berbagai praktek industrialisasi dan pembangunan yang berujung pada penindasan dimana masyarakat Indonesia yang menduduki posisi tertindas. Alam Indonesia pun menjadi korban dari pembangunan dan industrialisasi tersebut. Arus modernisasi-kapitalisasi telah membawa Indonesia ke dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Indonesia sebenarnya merupakan negara yang potensial. Indonesia memiliki tanah yang subur dan iklim yang bagus untuk bercocok tanam. Kurang lebih 70% dari wilayah Indonesia merupakan perairan yang sangat menjanjikan apabila dikembangkan sektor perikanannya. Hasil hutan dan tambang Indonesia melimpah, dan banyak wilayah Indonesia yang berpotensi tinggi untuk menjadi daerah wisata. Indonesia juga memiliki falsafah Pancasila yang memungkinkan masyarakat Indonesia membentuk sistem kolektivitas yang tinggi sehingga bisa mengembangkan potensi-potensi tersebut.
Ironis, segala potensi dan falsafah Pancasila yang telah ada seakan-akan terhanyut oleh arus modernisasi. Potensi-potensi tersebut dilupakan oleh pemerintah yang lebih mengelu-elukan pembangunan ala kapitalis barat. Alhasil, Indonesia kembali menjadi tempat jajahan kapitalis asing. Hasil alam Indonesia dieksploitasi dengan bagian keuntungan yang lebih besar untuk pihak kapitalis. Penduduk Indonesia hanya bisa menjadi pekerja atau dengan kata lain, “budak di negeri sendiri”. Alam dirusak dan pembangunan tersebar dengan tidak merata. Masyarakat Indonesia tetap berdiam di bawah garis kesejahteraan.
Individualisme dan keburukannya kini menjadi sosok yang sepertinya sulit dipisahkan dari kehidupan pemerintah dan pemodal. Setiap tindak-tanduk individualisme di negara kita pada akhirnya merugikan masyarakat umum dan alam sekitarnya. Akan tetapi, nasib bangsa masih bisa dirubah. Apabila masyarakat mau mencintai tanah air, menjunjung tinggi semangat Pancasila, dan lebih kritis terhadap pemerintah, Indonesia khususnya danau Toba bisa lepas dari cengkraman individualisme yang merusak.
(Andri E. Tarigan, harian Analisa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi!