Beberapa tahun terakhir, Indonesia mendapat nama yang harum di mata dunia dengan tampilnya putra-putri bangsa sebagai pemenang di berbagai olimpiade sains internasional.
Ada yang memandang ini sebagai wujud konkrit dari kemajuan dunia pendidikan kita, namun ada pula yang memandang ini sebagai bumerang yang kedepannya dapat menghancurkan dunia pendidikan kita.
Keikutsertaan dalam olimpiade dan euforia-euforia yang muncul setelahnya dinilai sering membuat para pelaku pendidikan terlena dan melupakan berbagai nilai yang seharusnya dijunjung.
Ada beberapa masalah yang kerap timbul dalam keberlangsungan olimpiade.
Pertama, timbul fenomena yang pintar semakin pintar dan yang bodoh semakin bodoh. Di sekolah-sekolah biasanya, seorang siswa yang mengikuti olimpiade mendapat perlakuan khusus dari pihak sekolah dimana ia diperbolehkan untuk membahas satu pelajaran khusus sepanjang jam belajar-mengajar. Sementara, teman-teman sekelasnya harus mengikuti pelajaran seperti biasa.
Ada pula sekolah yang tidak memberi kesempatan merata pada semua siswa untuk mendaftar olimpiade melainkan hanya menunjuk siswa-siswa tertentu yang dianggap berkualitas sehingga tidak merusak citra sekolah. Hal ini jelas menyebabkan kesenjangan antara siswa yang dianggap pintar dan bodoh. Parahnya, sekolah memegang peranan utama dalam keberlangsungan fenomena tersebut.
Kedua, eksploitasi terhadap siswa. Untuk seorang yang masih berada di tingkat SD atau SMP, pengkhususan akan suatu pelajaran sains yang rumit seperti fisika atau kimia bisa digolongkan pada eksploitasi apalagi jika ditambah dengan kebijakan sekolah yang memberi les tambahan untuk para peserta olimpiade.
Dan yang kerap terjadi, eksploitasi peserta olimpiade ditujukan untuk peningkatan citra sekolah sehingga mudah bagi pihak sekolah untuk mengambil keuntungan seperti menaikkan uang sekolah(biasa terjadi pada sekolah swasta elit).
Ketiga, peserta olimpiade menghabiskan waktu untuk menjawab soal-soal bukan persoalan. Hampir semua soal yang diujikan dalam olimpiade tidak dapat diterapkan langsung untuk menyelesaikan masalah di dunia nyata. Alhasil, bibit-bibit intelektual yang sudah melewati olimpiade masih sulit untuk bertumbuh dan berkembang menjadi penjawab persoalan-persoalan negeri karena mereka hanya berkutat pada soal-soal bukan pada pemecahan persoalan.
Dalam hal ini, olimpiade belum bisa dijadikan indikator utama kecerdasan karena penilaiannya hanya berkisar pada segi kognitif.
Keempat, condong kepada ilmu sains. Kebanyakan dari olimpiade yang diselenggarakan adalah olimpiade sains. Sangat jarang ditemukan olimpiade yang mengkompetisikan ilmu-ilmu sosial. Hal ini jelas menimbulkan kesenjangan antara siswa jurusan eksakta dengan siswa jurusan sosial dan timbul pula stereotip bahwa ilmu eksakta lebih tinggi dari ilmu sosial.
Stereotip inilah yang kerap merusak cara pandang siswa dalam menentukan masa depannya karena seringkali siswa mengingkari minat dan kemampuannya demi stereotip tersebut.
Kelima, pemenang tingkat internasional pindah ke luar negeri. Ini merupakan masalah yang paling menyedihkan dari penyelenggaraan olimpiade. Bibit-bibit unggul yang seharusnya menjadi pahlawan transformasi di dalam negeri malah pindah dan lebih memilih tinggal di luar negeri. Alasannya jelas kesejahteraan dan kurangnya fasilitas yang bisa mendukung kinerjanya.
Pantas atau tidak, langkah tersebut merupakan akibat dari kurangnya kecintaan untuk membangun tanah air sendiri.
Jadi?
Masalah-masalah tersebut cukup menggambarkan betapa besar dampak negatif dari pelaksanaan olimpiade sains yang nyata-nyata mengeluarkan banyak biaya dalam pelaksanaannya. Olimpiade membuat banyak siswa cerdas harus melewati masa kanak-kanak dan masa remaja dengan berkutat pada soal-soal kognitif dan terkurung dalam isolasi yang sengaja dibuat oleh sekolah dan orangtua.
Tidak jelas apa yang menjadi motivasi dari sekolah maupun orangtua. Apakah murni untuk menciptakan masa depan yang ideal bagi si anak, untuk mengharumkan nama bangsa, atau semata-mata untuk mendapat pengakuan dari orang lain atas keberhasilan mereka dalam menggali potensi si anak.
Yang pasti, ketertarikan masyarakat terhadap olimpiade telah menjadi jalan baru bagi budaya yang selama ini memperburuk kondisi bangsa ini, yakni budaya individualisme.
Seorang peserta olimpiade jarang sekali bergaul dengan orang-orang yang sewajarnya menjadi teman sepermainannya, dan jarang pula menaruh fokus pada pelajaran-pelajaran yang sebenarnya memegang peranan utama untuk menanamkan rasa nasionalisme seperti kewarganeraan, pendidikan pancasila, sejarah, dan sebagainya. Mereka selalu diusahakan untuk fokus pada sains. Akibatnya di kemudian hari, terciptalah generasi penerus yang cerdas, profesional, tapi tidak mengenal karakter sosial masyarakatnya, individualis, tidak berkorban demi bangsanya, dan menjadi agen baru dalam penyebaran budaya individualisme.
Alangkah menyedihkan jika nantinya generasi seperti ini yang menjadi kebanggaan kita. Individualisme bukanlah budaya yang pantas untuk ditanamkan di Indonesia yang sejatinya adalah negeri paguyuban. Indonesia saat ini sangat membutuhkan pemerataan.
Yang dibutuhkan oleh dunia pendidikan Indonesia adalah kegiatan-kegiatan yang memasyarakatkan budaya pancasila, bukan kompetisi penghasil individualis yang seringkali dibangga-banggakan pemerintah untuk menutupi kebobrokan pendidikan kita.***
(Andri E. Tarigan, harian Analisa, April 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi!