Citra DPR dan LSM

Pemahaman akan demokrasi membuat persimpangan isu dan perpolitikan di negeri sang garuda ini semakin berdinamika. Kebebasan bersuara menjadi alat politik yang paling dimanfaatkan untuk mendapat citra yang baik di mata masyarakat. Seringkali pihak yang sama-sama mengaku pro rakyat menjadi dua pihak yang saling bertolak belakang.
Lakon paradoks dari golongan "pro rakyat" ini tampak jelas pada kontroversi uang pulsa DPR yang menimbulkan pertentangan antara DPR dan LSM FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran). Kontroversi ini bermula dari pernyataan yang dikeluarkan oleh FITRA. Data Daftar Isian Penggunaan Anggaran 2010 dan 2011 yang diolah oleh FITRA menunjukkan anggaran pulsa DPR mencapai Rp 168 juta per anggota. Dengan penjabaran, uang pulsa DPR setiap bulannya Rp 14 juta dan untuk lima kali masa reses Rp 102 juta (kompas.com).
Pernyataan ini tentu membangkitkan respon dari golongan "pro rakyat" yang menjadi sasaran, yakni DPR. Wakil ketua DPR dari Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso tidak terima dengan pernyataan tersebut dan menilai FITRA seakan gelap mata. Anis Matta meluruskan bahwa maksud FITRA tentang tunjangan pulsa tersebut adalah tunjangan komunikasi politik, bukan spesifik untuk pulsa semata. Respon yang paling kontras dtunjukkan oleh Marzuki Allie, ketua DPR, yang menyatakan "Itulah kualitas LSM kita. Itu bukti LSM kita sering membohongi publik." (kompas.com, 13 mei 2011).
Dalam klarifikasinya, DPR menyatakan bahwa jumlah Rp 14.140.000 merupakan tunjangan komunikasi politik per bulan. Uang tersebut bisa digunakan untuk biaya pulsa, surat/e-mail, kunjungan langsung, dan pertemuan. Anggaran yang cukup besar ini ditambah lagi dengan biaya langganan pulsa SMS gateway sebesar 96 juta per tahun dan untuk biaya telepon rumah jabatan Rp 2 juta per bulan.
Masihkah Mewakili rakyat?
Pernyataan FITRA tentang uang pulsa DPR ini menjadi bumerang bagi FITRA sendiri. Dengan semangat mewakili rakyat, mereka harus menerima resiko coreng bagi citra mereka ketika anggota ketua DPR, Marzuki Allie, menuding mereka berbohong. Bisa dimengerti bahwa yang dilakukan FITRA adalah langkah kritis sebagai reaksi atas kebijakan DPR yang cenderung mengesankan kemewahan padahal kinerjanya dipertanyakan. Mungkin pula reaksi ini menjadi berlebihan karena didorong "rasa takut" kalau rencana DPR untuk menaikkan biaya reses pada 2012 mendatang direalisasikan, yang tentu memperbesar peluang pemborosan uang negara. Akan tetapi, sekalipun ada kesalahan pemilihan kata, pernyataan FITRA tentang biaya komunikasi DPR cukup membukakan sepenggal paradigma dari masyarakat untuk menilai kinerja wakilnya (DPR).
Tidak bisa dipungkiri bahwa DPR saat ini telah menjadi salah satu sasaran yang paling banyak mendapat kritikan. Kuasa legislasi DPR dengan mengakomodir suara rakyat terlihat tumpul dan DPR hanya terlihat berkuasa pada saat mereka melawan kritik masyarakat atas segala anggaran-anggaran mereka. Yang masih hangat sampai saat ini adalah pembangunan gedung baru DPR dan kunjungan-kunjungan internasional DPR. Aspirasi masyarakat yang sudah berulang kali menjadi sorotan media seperti tuntutan pemerataan ekonomi, penghapusan komersialisasi pendidikan, penegakan hak kebebasan beribadah, dan penertiban kegiatan yang melanggar UUD'45 dan pancasila tak kunjung mendapat respon dan tindak lanjut yang berdampak.
Pertentangan yang sering terjadi antara DPR dan LSM yang berujung pada pencitraan-pencitraan di media tak memberi jawaban yang pasti bagi rakyat. Tak pelak, muncul kepesimisan rakyat akan kesanggupan negara untuk mengakomodir dan kemudian memfasilitasi kebutuhan mereka mengingat sudah banyak tuntutan rakyat yang diangkat ke permukaan tetapi tak berbuah keberpihakan. Citra keduanya, baik atau buruk, terlupakan dan masyarakat terjebak dalam individualisme. Kesadaran berbangsa dan bernegara pudar karena legitimasi pihak-pihak yang mengaku pro rakyat atas tuntutan rakyat tak mampu membawa perubahan yang berarti bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat yang kini bersarang di bawah garis kesejahteraan.
Perbaikan Citra dan Kinerja
Keberadaan DPR dan LSM, adalah baik dan sangat diperlukan oleh masyarakat dalam tatanan demokrasi. Keduanya merupakan kawan bagi rakyat ketika harus berhadapan dengan kebijakan eksekutif yang terasa menindas. Keduanya merupakan corong suara rakyat yang saling berkesinambungan, yang oleh karena itu, hendaknya tidak saling menghalangi tetapi menyatu apabila yang diperjuangkan adalah kebutuhan rakyat.
Pada saat LSM melakukan kritik terhadap DPR atas kebijakannya yang menuntut kemewahan, maka DPR wajib menerimanya dengan tangan terbuka dan menyampaikan rasionalisasi yang tepat tanpa menunjukkan ego dan sikap memojokkan. DPR merupakan corong yang selayaknya paling aktif dan transformatif dalam mengatasi masalah yang menyangkut kepentingan rakyat. Merupakan kemunduran apabila DPR dan LSM, yang sama-sama mengatasnamakan suara rakyat, saling mengadu diri.
Rakyat tidak boleh terlalu lama larut dalam apatisme. Perbaikan citra dan kinerja dari DPR, LSM, juga elemen gerakan pro rakyat lainnya, seperti mahasiswa, merupakan tombol pemicu bagi kebangkitan kesadaran masyarakat agar semakin peduli dan turut dalam langkah perubahan menuju negeri yang menyejahterakan. LSM harus tetap berdiri dengan semangatnya dan kritik-kritik sehatnya. Giliran DPR, yang secara resmi mewakili rakyat, untuk benar-benar memperoleh pandangan positif dari rakyat dengan kinerja yang transformatif, bukan dengan retorika pencitraan.***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 25 mei 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...