Kampung Darah

Suasana mistis menyelimuti kampung itu. Rumah-rumah penduduk memancarkan aura-aura kepedihan, kepedihan sebagai saksi hujan tangis di masa lalu. Cahaya bulan yang seharusnya menerangi terperangkap di balik bukit. Dingin malam seperti ingin bercerita tentang kisah yang sangat menentukan arah perjalananku di malam itu. Kisah itu memiliki arti tersendiri bagi diriku, ayahku, dan terutama bagi ibu Sutini.
"Mereka adalah setan!", kata ibu Sutini dengan raut wajah penuh dendam. Aku memandanginya dan bertingkah seakan-akan aku sedang mendalami perasaannya. Hanya satu dalam pikiranku: Aku tidak akan terpengaruh dengan kata-katanya dan aku akan mencapai tujuan awalku datang ke kampung ini.
"Aku tahu kesedihan ibu. Tapi, apa harus begini? Apa ibu harus tenggelam dalam kesedihan ibu?"
"Aku sudah tidak punya jalan lain. Tak ada lagi yang kumiliki yang bisa memberi kebahagiaan bagiku. Dendam adalah bahagiaku. Aku harus menyatu dengan dendam ini, aku harus terbakar olehnya sehingga aku bisa berjuang. Aku harus melawan!"
Mata ibu Sutini memerah. Kedua bola mata itu seperti ingin mengeluarkan tetesan air mata, tapi air matanya memang sudah habis, sudah terlalu sering dia menangis dan terhibur oleh tangis-tangisnya sendiri. Ibu Sutini seperti mayat hidup, seperti tak ada lagi cinta yang bisa dipancarkannya.
Dan tak hanya ibu Sutini, hampir seluruh penduduk asli kampung itu bertindak seperti mayat hidup. Sungguh layak orang kota menyebut kampung itu kampung darah, sebab setiap sorot mata di kampung itu bagaikan guratan luka yang siap menyemburkan darah.
"Bu, tujuanku datang ke sini bukan hanya untuk memandangi suasana yang ada. Aku ingin merangkul ibu dan semua penduduk kampung. Aku ingin menawarkan cinta kasih yang bisa merubah kehidupan kampung sini. Aku ingin semua hidup damai tanpa dendam," kataku.
Telepon genggamku berbunyi. Aku mengalihkan sejenak perhatianku dari ibu Sutini. Melalui pesan singkat, ayah menyatakan padaku bahwa dia sudah berada di luar gubuk, dia akan tetap di luar dan menguping pembicaraan kami.
"Apa? Kau ingin memberi damai tanpa dendam? Kau sedang bermimpi anak muda. Kau tidak mengerti arti damai bagiku. Kau juga tidak tahu arti dendam bagiku. Aku telah kehilangan segalanya. Sampai lewat mati pun aku akan tetap dendam dengan pengusaha keparat itu."
Aku mencoba untuk tenang dan memasang mimik wajah yang antusias ke arah ibu Sutini. Aku menghembuskan nafas seakan-akan aku sangat memahami penderitaan ibu Sutini. Kuteguk teh hangat yang telah disediakan ibu Sutini dihadapanku untuk mencairkan suasana. Aku berusaha sekeras mungkin agar dia tidak mencurigai maksud kedatanganku.
"Kamu tahu apa yang terjadi dua puluh tahun yang lalu? Itu adalah hari kiamat. Hari kematian bagi seluruh penduduk kampung ini. Pengusaha keparat itu datang dengan para preman yang penuh dengan taring-taring dosa. Di sana, di atas bukit itu, mereka membantai berpuluh penduduk desa ini. Binatang-binatang itu datang, merebut tanah kami dan memotong para penduduk kampung ini, sampai semuanya berdarah. Bukit itu merupakan tempat jatuhnya hujan darah itu. Mereka kehilangan nyawanya untuk merebut tanah mereka sendiri. Jeritan-jeritan dari kejadian itu masih terus mengiris hatiku sampai saat ini. Masih pantaskah aku berdamai atas semua ini? Jika kutemukan lagi pengusaha keparat itu, akan kutikamkan pisau ini ke perutnya."
Ibu Sutini memegang erat pisau belati yang memang selalu dibawanya. Ekspresi yang ditunjukkannya membuatku sedikit merinding. Aku sudah tahu sebelumnya bahwa bukit di selatan kampung itu merupakan tempat pembantaian dua puluh tahun yang lalu. Sebelumnya aku merasa hal itu sebagai hal yang biasa. Aku dididik dengan paham-paham yang rasional dan tindakan pembantaian oleh para pengusaha sewaktu menginginkan lahan baru merupakan hal yang pantas bagiku. Tapi kali ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku mulai merasakan suasana mistis yang ada menggerayangi isi otakku. Aku kehilangan konsentrasi.
"Suamiku memang bebal, dia memimpin penduduk untuk bangkit melawan dan berjuang ke bukit tanpa peduli ancaman dari pengusaha itu. Seperti kesetanan, dia mengangkat belatinya, belati ini, untuk menahan laju para pendatang itu. Dia mengangkat belatinya hingga akhirnya dia ditusuk oleh salah seorang preman dengan belatinya sendiri. Parahnya, kau tahu anak muda, pengusaha itu datang dan meludahi mayat suamiku. Dia menendang kepala mayat suamiku dengan tawa yang menggelegar. Apakah pantas jika aku tak mendendam dengan binatang itu?"
Aku terdiam. Kalimat demi kalimat tentang masa lalu yang berdarah itu membuatku gelisah. Banyak tanya yang lahir di otakku selama mendengarkan kata-kata ibu Sutini. Mengapa suaminya mau berkorban habis-habisan? Mengapa ada yang tega merusak ketentraman kampung itu? Setiap tanya yang timbul semakin meruntuhkan alam sadarku. Tiba-tiba terdengar suara benturan keras dari arah pintu masuk.
"Sepertinya kau sudah bicara berlebihan pelacur tua!" "Ah... kau, berani kau datang kesini. Persetan kau!"
Ibu Sutini dengan sigap mencoba menusukkan belatinya ke perut seorang pria tua yang masuk tiba-tiba ke dalam gubuk. Pria tua itu adalah ayahku. Dialah pengusaha yang dimaksud oleh ibu Sutini. Aku sendiri adalah orang yang ditugaskannya untuk menghasut ibu Sutini demi menuntaskan ambisinya yang tertunda akibat kerusuhan dua puluh tahun yang lalu.
Kedatangan ayah membuatku terkejut. Kisah-kisah pembantaian meracuni pikiranku, pandanganku gelap. Bau darah tercium dari segala arah. Aku seperti memasuki alam di luar dunia nyata.
Untuk pertama kalinya aku merasa dalam pengayoman. Suasana di sekitarku membuatku merasa nyaman. Aku merasakan kepuasan yang sesungguhnya sebagai seorang manusia. Pada saat mataku mulai terbuka, aku melihat ibu Sutini. Tangan kanannya memegang lubang tusukan yang menganga di perut ayahku. Tangan kirinya memegang tanganku. Tanganku yang berlumur darah dan menggenggam erat sebuah belati.***

(Andri E. Tarigan, harian Analisa,  1 juni 2011)


4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...