Demonstrasi besar-besaran 9 Juli 2011 yang terjadi di Kuala Lumpur dimimpikan sebagian orang di Malaysia sebagai tanggal revolusi, tanggal lahirnya Malaysia sebagai sebuah republik. Sebagian orang yang dimaksud tersebut tentu merupakan oknum-oknum yang gerah terhadap kondisi yang ada. Mereka melebur dalam massa yang terdiri dari gabungan berpuluh LSM dan masyarakat berbagai elemen. Salah satu tuntutannya adalah pemilu yang bersih. Suatu kegelisahan yang layak dirimangi masyarakat manapun yang sadar akan pelaksanaan demokrasi.
Di negara yang tak jauh dari Malaysia, dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, George J. Aditjondro dengan bersenjata buku telah menyerbu sisi gelap pemilu yang terjadi pada 2009 lalu. Memang pemilu yang dibahas bukan pemilu di Malaysia, tapi konteksnya sama yaitu menuntut kebersihan pemilu. Yang dituntut G.J. Aditjondro adalah transparansi pemilu 2009 di Indonesia yang memenangkan SBY-Boediono. Kedua berita ini adalah referensi yang baik. Baik bagi kita untuk mengelola informasi tentang kebersihan pemilu yang masih mungkin kita dambakan. Sekalipun pemilu untuk presiden berlangsung pada 2014 nanti, dari sekarang kita wajib memupuk kesadaran agar nantinya tidak terbutakan oleh intrik busuk pemilu yang terjadi di kemudian hari.
Gelisahnya Mereka Jika sebelumnya isu politik yang beredar membingungkan dan mampu mengukuhkan sifat pesimis terhadap politik beserta turunannya, maka buku Cikeas Semakin Menggurita dan Gerakan Bersih 2.0 Malaysia merupakan angin segar untuk mengikis rasa pesimis tersebut. Kita layak menapaki kembali optimisme selaku pemeluk demokrasi karena ternyata masih ada orang yang peduli dan mau menanggung resiko yang mungkin dialami demi terwujudnya kebersihan berpolitik. Kegelisahan mereka patut diapresiasi.
Penyampaian keinginan demi kebersihan tentu diawali dengan fakta bahwa ada yang kotor, ada yang tak baik, ada yang tidak layak untuk diteruskan. Demi melawan hal yang dianggap tak baik ini mereka berani melakukan langkah tak biasa, langkah yang kerap mendapat ancaman. Ada keyakinan bahwa pemilu bisa direkonstruksi sedemikian rupa agar kekotoran di dunia politik dapat diminimalisir, bukan dipahami sebagai keharusan realita.
Di negara Malaysia, demonstrasi adalah hal yang jarang dilakukan. Masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Indonesia yang sering menerjemahkan protes atas ketidakbenaran melalui demonstrasi. Kemungkinan hal ini disebabkan kesejahteraan mereka yang tidak terlalu rendah dan adanya kebijakan pemerintahnya yang meminimalisir aktivitas perlawanan para mahasiswa. Akan tetapi, ketidakbenaran tetap saja punya lawan. Warga Malaysia beramai-ramai turun ke jalan dan menyuarakan perubahan. Ada semangat khusus yang menggerakkan mereka, yang membuat mereka berani mengesampingkan ancaman pemerintah dan aparat. Terlepas dari siapa yang benar, semangat untuk melakukan hal yang tidak biasa, ramai-ramai menuntut pemerintah demi kebaikan bersama merupakan hal baik yang perlu digarisbawahi.
George J. Aditjondro menunjukkan keinginannya akan perwujudan politik yang bersih dengan menerbitkan buku Cikeas Semakin Menggurita. Dalam buku ini, George. J. Aditjondro mengupas berbagai indikasi kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan pemilu 2009. Dibahas pula indikasi korupsi yang mungkin dilakukan oleh orang-orang di sekitar presiden. Kegelisahannya tampak terjadi karena praktek korupsi yang kian bercabal dan, ganjilnya, orang-orang di sekitar presiden kerap terlibat. Pemilu merupakan pintu masuk berkuasanya presiden, karenanya, Aditjondro turut membahas ketidakbenaran pemilu yang terjadi saat SBY terpilih. George J. Aditjondro jelas mendapat ancaman, bahkan ancaman pidana. Hal itu tak menyurutkan langkahnya. Aditjondro pernah mendapat yang lebih parah pada zaman Soeharto dan kini dia masih tetap bersuara untuk kebenaran realita yang dipandangnya.
Kepedulian Kita
Jika berbicara tentang kita, maka kita berbicara tentang masyarakat yang turut dalam pengembangbiakan tindak korupsi. Korupsi terlihat sebagai penyakit akut yang memperburuk praktik pelaksanaan negara terlebih jika kita bercermin dengan UUD 1945 dan Pancasila. Ditengah ‘diamalkannya’ keadilan sosial bagi sebagian rakyat Indonesia, korupsi merajalela. Tersebutlah penyakit bangsa bertambah. Seperangkat kondisi yang sungguh menuntut kita untuk peduli selaku elemen bangsa.
Untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut, dibutuhkan peran aktif dari pemimpin dan rakyatnya. Tidak mungkin pemimpin mampu melihat seluruh permasalahan rakyatnya, juga mempertahankan moralnya, jika rakyat tidak bersuara. Suara rakyat dan kinerja pemimpin sudah seharusnya sinergis. Dan apabila pemimpin tidak menyadari ini, maka dia bukan sang pemimpin, kita salah orang.
Perjalanan SBY selama hampir dua periode ditambah lagi pemahaman akan kinerja rezim-rezim yang telah berlalu bisa kita jadikan indikator kesadaran bahwa untuk memperoleh pemimpin yang sadar, dibutuhkan pelaksanaan pemilu yang bersih, jika bukan direvolusi. Kita butuh tokoh dan kita punya hak memilih tokoh. Menuntut dan turut berperan dalam perwujudan pemilu yang bersih merupakan pilihan tepat untuk kita. Logika masyarakat umum berkata: "Jelas mereka korupsi, mereka sudah mengucurkan banyak uang (suap) untuk bisa terpilih".
Coba lihat gerakan-gerakan yang ada. Contoh dekat adalah George J. Aditjondro dan Gerakan Bersih 2.0 di Malaysia. Mereka telah bersuara dan itu serta-merta menunjukkan bahwa mereka siap diteladani. Berani memiliki kegelisahan dan berani menerjemahkan kegelisahan. Bangsa kita cukup tersiksa dengan tindak sistemik para koruptor yang berdiri gagah di atas keterpurukan masyarakat kita. Pemilu yang kotor adalah titik yang mengawalinya. Mereka yang bergerak telah mencoba membentuk budaya bersih dalam perpolitikan, terkhusus dalam pelaksanaan pemilu. Mari menyambutnya dengan tindak kesadaran.
***
(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 20 Juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi!