Suatu bangsa hidup dari keteguhan orang-orangnya menjunjung tinggi nasionalisme. Melihat Indonesia saat ini, dimana kondisi yang plural diterjemahkan sebagai ajang untuk mengekspresikan keunikan masing-masing, telah berlangsung pemahaman yang salah arah sehingga tak jarang tindakan yang ada malah berujung pada anarki. Hak hidup bersama mulai tidak dipedulikan. Nasionalisme, wadah yang sejatinya mempersatukan, seperti tak lagi dihiraukan.
Bisa kita lihat kekerasan demi kekerasan di berbagai wilayah yang kerap memadati media. Tampak pada pemboman gereja, peperangan suku, bentrok antar kelompok, dan sebagainya. Para pelaku terlihat memaksakan diri untuk melakukan hal yang bertentangan dengan hukum, anarkisme dijadikan pilihan.
Padahal, jika kita telusuri sejarah bangsa, dapat dilihat bahwasanya keragaman sudah dari berabad-abad lalu menjadi ciri Indonesia. Sejak masih disebut nusantara, pada masa Majapahit, keragaman telah menjadi harta yang dijunjung tinggi. Semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah bukti nyata betapa keragaman telah menjadi hal serius yang dipelihara dalam semangat kebersamaan. Para founding fathers negara inipun turut mengapresiasi hal tersebut, dengan mengangkat kembali semboyan itu sebagai spirit nasional.
Lahirnya Nasionalisme
Nasionalisme Indonesia lahir pada awal abad 20. Pada masa itu, para elit intelektual, kaum pribumi juga indo yang berkesempatan memperoleh pendidikan sampai ke luar negeri, membawakan wacana baru bagi penduduk Hindia Belanda. Wacana tersebut adalah nasionalisme, sebuah wacana yang memerdekakan.
Mulailah muncul kesadaran bahwa kesamaan latar belakang membuat orang-orang yang terjajah kolonialisme pemerintahan Hindia belanda layak disebut bangsa. Dulunya pun pernah berada dalam satu kesatuan saat wilayahnya bernama nusantara, di bawah naungan Majapahit. Sesuai dengan julukan yang berlaku di tataran internasional, disepakatilah nama bangsa ini, Indonesia.
Nasionalisme Indonesia datang sebagai sebuah janji. Dikala rakyat pribumi memilih nyaman berlindung di bawah payung feodalisme yang berjalan beriringan dengan kolonialisme, nasionalisme datang membawa harapan baru dengan logika bahwasanya setiap suku atau wilayah akan menjadi kekuatan besar apabila bersatu. Nasionalisme menjadi jawaban untuk mengusir penjajahan dari bumi nusantara.
Sebuah kisah historis yang kaya dan patut dibanggakan, dalam tempo beberapa puluh tahun saja, janji nasionalisme berhasil merubah arah bangsa. Negara Indonesia berhasil dibentuk. Rakyat resmi bebas dari kolonialisme. Kekuatan utamanya adalah spirit Bhineka Tunggal Ika, spirit yang demokratis dan berhasil menggalang kekuatan bersama. Berbagai latar budaya, kekuatan, ideologi, golongan, elit, melebur memperjuangkan entitas nasional.
Janji Pemersatu
Begitu dipercayainya nasionalisme sebagai sebuah janji pemersatu, membuat para founding fathers negara enggan melahirkan Indonesia dalam sistem federal. Ditakutkan, sistem federal kedepannya melanggengkan perpecahan. Sejarah telah mengingatkan bahwa Indonesia dulunya pernah kacau karena politik pecah belah, Devide Et Impera. Disepakati wujud Indonesia adalah negara kesatuan, sekalipun kurang sejalan dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri atas ribuan suku.
Janji ini (nasionalisme) berjalan dengan penuh pergolakan. Banyak pengorbanan, pertumpahan darah. Keteguhan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan sempat tergoncang saat Belanda melangsungkan agresinya dan dalam beberapa masa, sesuai keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Indonesia berubah menjadi federal. Benarlah, sistem federal yang mengkotak-kotakkan, tidak sejalan dengan spirit nasionalisme yang masih berkobar sehingga Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.
Dalam perjalanannya lagi, nasionalisme sebagai janji terasa gagal setelah bertahun-tahun dijunjung tak jua membawa kesejahteraan. Soekarno, sang pemimpin, terlalu acuh terhadap kekuatan kapital sehingga rakyat tetap melarat, pembangunan lambat.
Periode berikut, masa orde baru, pembangunan berjalan pesat. Rasa nasionalisme diperkuat, bahkan dengan indoktrinasi via berbagai kebijakan dan agitasi media. Hanya saja, indoktrinasi ternyata bukan cara yang tepat untuk menguatkan nasionalisme. Nasionalisme adalah sesuatu yang berangkat dari kesadaran, dari kerinduan untuk menyatu dalam keragaman, kesadaran untuk berpartisipasi aktif menjaga kesatuan sebagai kekuatan, bukan dengan indoktrinasi yang melahirkan nasionalisme semu.
Yang terjadi, masyarakat sulit mengekspresikan hak politik secara demokratis. Sekalipun nasionalisme berdengung di segala arah, semangat nasionalisme meredup. Berganti orde, paradigma masyarakat tetap sama. Sekalipun pintu demokrasi setelah 1998 terbuka lebar, jiwa nasionalisme masih mengambang. Nasionalisme sebagai janji tetap gagal.
Sekarang, kaum fundamentalis semakin banyak beraksi dan menyebabkan kerusuhan. Terorisme, konflik SARA, menjadi bukti lanjut kegagalan nasionalisme. Masalah kesejahteraan pun masih jauh panggang dari api. Pejabat negara, yang selayaknya menjadi teladan pelaksana nasionalisme, malah korup.
Masih layakkah kita percaya dengan janji pemersatu itu? Disaat lajunya acapkali tersendat-sendat? Jelas masih. Nasionalisme merupakan kekayaan historis yang bernilai besar, sangat layak diperjuangkan. Indonesia pernah punya pemikir-pemikir besar yang dengan keradikalannya masing-masing mau melebur dalam wadah nasionalisme. Adalah tanggung jawab setiap generasi memperjuangkan janji nasionalisme agar berhasil. ***
(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 18 November 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi!