Kekerasan mengatas-namakan agama yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia, negara berfalsafah bhineka tunggal ika, tak kunjung
berakhir. Ada saja kasus-kasus yang muncul. Dinilai, orang-orang yang
menjadi pelaku kekerasan adalah para fundamentalis agama, kelompok yang
tidak mempedulikan hukum selain hukum yang dikandung oleh agamanya
sendiri, dan berjuang penuh demi tegaknya amanah-amanah dari agama
tersebut.
Sepintas, penilaian
tersebut terlihat benar. Para pelaku kekerasan rela melakukan
aktivitas-aktivitas yang melanggar hukum dan bahkan merugikan orang
lain, demi tegaknya amanah-amanah dari agama yang diyakininya. Kelompok
tersebut terlihat sangat mencintai agamanya. Namun jika kita telisik
lebih dalam, ada kekeliruan. Ada yang salah jika aktivitas tersebut,
kita nilai sebagai fundamentalisme.
Tak satupun agama, dari agama-agama yang diakui di Indonesia, yang
mengajarkan kekerasan sebagai hal yang fundamental. Fundamental artinya
mendasar. Agama tak mendasari ajarannya dengan kekerasan, apapun
konteksnya.
Sejatinya, agama manapun, mengajarkan hidup yang saling mencintai.
Bicara fundamentalisme agama, maka yang seharusnya dibicarakan adalah
kegiatan-kegiatan yang secara radikal mempraktekkan kasih. Bukan malah
yang semena-mena melakukan kekerasan. dimana fundamentalnya?
Seorang filsuf dari abad pencerahan (aufklarung) pernah menuliskan
seperti ini, "Tujuan sejati dari semua agama humanistik besar: Mengatasi
keterbatasan dari suatu diri yang egoistik, untuk mencapai kasih,
obyektivitas, dan kerendahan hati dan menghargai kehidupan sehingga
tujuan dari kehidupan adalah hidup itu sendiri, dan manusia menjadi apa
yang merupakan potensinya." Tanpa bermaksud mengadu kebenaran spiritual
dengan kebenaran rasional, petikan tersebut menunjukkan bahwa dengan
rasional sekalipun, dapat dilihat bahwa yang fundamental dari agama
adalah praktek kasih.
Memang, sejarah berkata, bahwa dahulu para pemuka agama tak jarang
menyerukan perang, aktivitas kekerasan, demi penegakan amanat agama.
Namun layak dipahami bahwa kala itu yang berkuasa adalah pemerintahan
yang barbar. Agamawan angkat senjata demi merebut kekuasaan, demi
menghancurkan dominasi dari kaum yang anti-agama. Penguasa yang
mendominasi adalah kafir, maka angkat senjata terpaksa dilakukan, begitu
logikanya. Konteks tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan
kondisi di Indonesia, ketika korban kekerasan justru adalah kaum yang
minoritas.
Sedikit menggali ‘ejekan’ rasional dari Karl Marx, yang menyatakan bahwa
agama layaknya candu. Agama dinilai candu karena membuat orang menjadi
ketagihan, tidak rasional, dan memilih bersembunyi di balik
pengharapan-pengharapan. Para pelaku kekerasan di negeri kita yang
mengatasnamakan agama, membuat ejekan tersebut menjadi semakin nyata,
dan keburukan yang tampak menjadi semakin kompleks.
Tantangan
Para pelaku kekerasan atas nama agama, mau tidak mau, layak digolongkan
sebagai pengingkar falsafah negara. Tindakan mereka sangat bertentangan
dengan buah pikir yang kita junjung tinggi, warisan dari nenek moyang
kita, bhineka tunggal ika. Keanekaragaman keyakinan tidak dihargai.
Tindakan kekerasan tersebut juga inkonstitusional, mengingat dalam UUD
1945, dinyatakan bahwa negara menjamin kebebasan tiap-tiap warga negara
dalam memeluk agama. Ada satu pihak yang mencoba memasung kebebasan
memeluk agama pihak lain.
Tampak, nasionalisme, semangat kebangsaan, tak lagi dihargai. Ini
merupakan tantangan bagi pemerintah Indonesia. Mengapa semangat
nasionalisme rakyat bisa sedemikian kendur. Sudah sejauh mana pemerintah
menjadi teladan bagi rakyatnya dalam menjunjung tinggi nasionalisme.
Apakah pemerintah sudah tak lagi dipercaya, sehingga keberadaan negara
tak lagi dihargai, sehingga nasionalisme terlantar?
Belum lagi sikap aparat kepolisian yang sedemikian persuasif, sehingga
pelaku kekerasan tersebut merajalela. Berbeda jauh ketika aparat
menghadapi demonstrasi. Tiga puluh orang saja massa demo, aparat sudah
mengeluarkan pasukan anti huru-hara, water canon, pasukan berpeluru
karet, gas air mata, dan sebagainya. Padahal demonstrasi kebanyakan
bergerak dengan dasar UUD 1945 dan menyuarakan kesejahteraan bersama,
namun aparat sedemikian represif. Ketika ada pengerusakan aset kaum
minoritas, oleh kelompok yang anarki dengan mengatasnamakan agama,
pasukan anti huru-hara jarang tampak, polisi persuasif saja.
Tindakan kekerasan atas nama agama adalah masalah, merupakan kemunduran.
Karenanya, segenap elemen bangsa ini selayaknya berupaya keras agar
kejadian serupa tak terulang lagi. Perlu ditarik akar masalah, agar
tercipta solusi, dan masalah semakin mudah ditanggulangi.
Fundamentalisme salah arah, yang berujung tindakan kekerasan, merupakan
manifestasi dari pemikiran yang sempit. Kurang mampu mencerna esensi
sehingga terjebak pada wacana-wacana dikotomis. Disini pola berpikir
rasional penting digunakan. Perlu dianalisis wacana-wacana yang
mendasari gerakan. Kenapa gerakan merusak aset minoritas harus ada?
Kenapa bukan hal yang lebih urgen lagi yang dilakukan jika memang ini
adalah gerakan yang fundamental?***
(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 14 mei 2012)