“Pokoknya harga BBM harus murah!” “Pokoknya APBN untuk rakyat!”
Berbagai macam kepedulian terlontar. Didorong kepentingan. Aku asyik menonton saja. Kulihat di jalanan massa aksi sudah berserakan. Di kotaku sendiri, demonstran melakukan aksi penolakan di berbagai titik. Mereka betul-betul jengah dengan tingkah pemerintah yang ngotot menaikkan harga BBM. “Semua harga barang akan naik!” Protes mereka.
Aku sendiri saja. Tak berkawan. Tak mendukung, tak juga menolak.
Kunikmati seduhan mi instan yang disuguhkan di hadapanku. Aku makan mi di warung darurat pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari titik demonstrasi. Aku merasa tertarik untuk mengamati aksi mereka. “Sebuah fenomena.” Benakku.
“Rusuh gak ini ya?” Kata bibi penjual mi.
“Tergantung, Bi.”
“Tergantung apanya?”
“Tergantung emosi mereka lah, Bi. Biasanya kalau sudah seperti ini rusuh.”
“Dibayar gak mereka ini ya?”
“Kemungkinan besar tidak, Bi.”
Aku menjawab tidak. Karena, aku punya banyak teman yang juga aktivis mahasiswa. Terkadang aku ikut dalam aksi, atau ikut dalam sebatas diskusi.
Mereka tidak dibayar. Opini bahwa demonstrasi itu dibayar biasa terlontar dari mulut mereka yang tak pernah ikut demonstrasi. Dari mulut mereka yang tak berani turun ke jalan. Mereka yang mencari posisi nyaman. Menjilat dengan lidah seadanya.
Memang sih, ada-ada saja demo yang dibayar. Biasanya isu yang diangkat isu yang sempit. Seputar jatuh-menjatuhkan oknum.
Bagaimanapun juga, ada saja kebijakan pemerintah yang membuat rakyat marah. Kebijakan yang tak bisa ditolerir. Terlalu membodoh-bodohi.
Aku sendiri saja. Tak berkawan. Tak mendukung, tak juga menolak.
Aku menikmati pembodohan sebagai sebuah pemandangan. Sebagaimana aku menikmati mi instan yang kupesan. Dalam budaya menontonlah aku dibesarkan. Budaya tinggal konsumsi apa yang disajikan. Konsumerisme. Salah?
***
Demonstrasi semakin memanas. Massa aksi sudah dikelilingi oleh satuan-satuan pengawas. Mereka-mereka yang berseragam. Kepolisian.
Wajah-wajah demonstran memerah. Karena amarah, karena panas matahari, juga karena panasnya api. Ya, api. Tiga buah ban dibakar di tengah-tengah mereka. Lambang perlawanan.
Mi instanku sudah habis. Aku sekarang minum jus jeruk dingin. Dalam kesejukanku aku mengamati panasnya demonstrasi.
“Apa sebaiknya aku tutup saja, ya?” Kata si bibi.
“Bentar lagilah, Bi. Kita nikmati dulu pemandangan ini.” Kusampaikan kalimatku dengan nada sok kompak ala kota Medan.
“Nanti rusuh...”
“Kan nanti, rusuhnya, Bi.”
Si bibi duduk disampingku. Dia melipat-lipat kain lap tangan putih bermotif kotak-kotak biru, serapi mungkin.
“Bibi, cemana, dukung atau tolak kenaikan BBM ini?” kataku
“Ya kalau bisa janganlah naik. Susah nanti semuanya. Makin mahal. Ini aja belum naik dah mahal harga cabe. Gimana kalau nanti naik.”
“Jadi, ikut demo lah, Bi?”
“Ah, ngapain demo-demo.”
Si bibi berdiri dan meletakkan kain lap tangan ke meja yang seharusnya.
Aku tersenyum kecil.
Bagaimana mungkin pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat kalau rakyatnya tak menyampaikan apa yang dimauinya? Bagaimana mungkin politikus bersih di atas sana diterima pendapatnya bila rakyat yang di bawah tak teriak mendukungnya? Rakyat yang bisu adalah peluang bagi korupsi di atas sana.
Ingin aku menyampaikan hal ini ke si bibi. Tapi tak usahlah, si bibi hanya ingin hidup tentram. Berjualan sebaik-baiknya dan memberi makan serta menyekolahkan anak-anaknya. Aku membantunya dengan mengonsumsi jualannya.
“Bi, berapa semua?”
“Sebelas ribu.”
Sesederhana itu seharusnya.
**
Aku berjalan kaki, melewati para demonstran. Aku hendak pulang. Aku tahu demo itu penting, tapi aku belum berniat. Aku memilih tidak berkawan.
Kebetulan saja aku tinggal di lingkungan mahasiswa dan rakyat kecil. Seandainya, aku tinggal di apartemen sana, bergaul dengan para pengusaha. Apakah aku memusingkan naiknya BBM?
Bukannya semalam suntuk berdiskusi kerakyatan, aku akan dugem dengan perempuan-perempuan berpakaian seksi. Bukannya berbagi kasih, aku akan bertransaksi. Ini semua hanya masalah kultur, aku kira. Terlalu cepat mengklaim salah-benar. Makanya, aku memilih tak berkawan!
Aku menghambat angkutan kota dan menaikinya. Perlahan tapi pasti, titik demo itu kujauhi. “Angkot ini menggunakan BBM.” Pikirku.
Aku melihat sepeda motor buatan Jepang yang kencang menyalib. Sepeda motor itupun menggunakan BBM. Kulihat juga pembangunan real estate yang gencar di kota Medan. Mesin-mesin berat yang digunakan, semua pakai BBM.
Teknologi sejauh ini masih sangat bergantung pada minyak. Oleh karena itu, masalah BBM adalah masalah pelik. Tak sekedar masalah subsidi.
Pikiranku melayang ke pertambangan minyak bumi. Lubang-lubang yang dipaksa, bumi dibolongi demi memperoleh minyak dari bawah tanah. Yang membolongi masih orang asing. Orang dalam negeri bodoh dan korup. Namun ketika orang asing yang mengeruk, ya keuntungan jadi sama mereka.
Serba salah.
“Akh, macet terus!” Seru si sopir angkutan kota.
Mobilnya terhenti, di depan kami ternyata ada titik demo lagi. Lima ratus meter dari rumah kosku.
“Aku disini saja, bang.” Kukatakan pada si sopir. Kuberi tiga ribu rupiah.
Aku berjalan lagi, menyusuri para demonstran. Mereka memaki sambil marah sambil tertawa. Mereka tak takut bahaya jika bersama. Dalam hati, aku mengagumi mereka.
Lima ratus meter kulewati, aku sampai di rumah kos. Di dalam kamar, kunyalakan televisi, sidang paripurna DPR pusat tengah digelar.
Wajah-wajah transaksi bermunculan. Adu argumen dengan memanfaatkan kata ‘rakyat’ terjadi. Minyak bukan hanya masalah konsumsi rakyat kecil, tapi juga pembangunan dan bisnis. Terlihat mereka menggunakan kata ‘rakyat’ demi pembangunan dan bisnis tersebut.
Lusinan drum diletakkan tepat di tengah peserta sidang. Drum itu berwarna hitam, pekat. Tampak drum itu sangat berat. Ada tetesan-tetesan cairan hitam mengeras di sekitarnya. Aku sangat yakin itu drum minyak.
Di kedua sisinya, tampak para ekonom berdasi tengah mendesain sesuatu. Apa itu? Tiba-tiba televisi kabur.
“Argh, masalah antena.” Benakku geram.
Aku keluar dan memperbaiki antena yang posisinya sudah tidak pas, mungkin digoyang angin. Lalu aku kembali menonton.
Aku kini melihat jelas yang didesain para ekonom berdasi itu. Sepasang sayap putih untuk setiap drum hitam. Drum minyak hendak dibawa terbang.
Ada juga politisi yang mengikat bagian bawah drum dengan tali-tali tambang. Ujung tali tambang dibiarkan menjulur ke luar gedung.
Disana, para demonstran menyambut.
“Tarik.” Bisik si politisi.
Demonstran menyambut tali itu dan beramai-ramai menariknya. Semua terpampang jelas di televisi.
“Perfect.” Kata seorang ekonom berdasi.
Mereka mundur meninggalkan desainnya. Dalam hitungan detik, sayap-sayap itu bergerak. Melambai lalu mengepak. Berberapa helai bulu terhempas.
“Perfect.” Kata ekonom berdasi itu lagi.
Kepakan sayap semakin kuat. Drum-drum itu mulai terbang.
“Talinya tertarik ke dalam, ayo tarik keluar!” Seru koordinator demonstrasi.
Massa buru-buru menarik. “Tarik! Tarik! Tarik!”Seru mereka keras beriringan.
“Lampunya! Lampunya!” Bisik seorang ekonom berdasi merangkap politisi kepada ajudannya.
Si ajudan menghidupkan lampu sorot yang juga didesain khusus. Cahaya BLSM memancar.
Drum terbang ke atas, sesuai desain sayap yang dirangkai. Demonstran yang tidak terima menarik drum tersebut agar kembali turun. Cahaya BLSM yang sengaja dipancarkan menyilaukan mata. Sudah dimana posisi drum?
Drum terbang ke atas, minyak bersayap itu menemui mereka yang tinggal di gedung-gedung tinggi. Minyak bersayap meninggalkan demonstran dan rakyat kecil, yang tinggal di rumah-rumah kumuh.
Semua terpampang jelas di televisi.
“Aku menonton saja?”
***
Berbagai macam kepedulian terlontar. Didorong kepentingan. Aku asyik menonton saja. Kulihat di jalanan massa aksi sudah berserakan. Di kotaku sendiri, demonstran melakukan aksi penolakan di berbagai titik. Mereka betul-betul jengah dengan tingkah pemerintah yang ngotot menaikkan harga BBM. “Semua harga barang akan naik!” Protes mereka.
Aku sendiri saja. Tak berkawan. Tak mendukung, tak juga menolak.
Kunikmati seduhan mi instan yang disuguhkan di hadapanku. Aku makan mi di warung darurat pinggir jalan. Sekitar seratus meter dari titik demonstrasi. Aku merasa tertarik untuk mengamati aksi mereka. “Sebuah fenomena.” Benakku.
“Rusuh gak ini ya?” Kata bibi penjual mi.
“Tergantung, Bi.”
“Tergantung apanya?”
“Tergantung emosi mereka lah, Bi. Biasanya kalau sudah seperti ini rusuh.”
“Dibayar gak mereka ini ya?”
“Kemungkinan besar tidak, Bi.”
Aku menjawab tidak. Karena, aku punya banyak teman yang juga aktivis mahasiswa. Terkadang aku ikut dalam aksi, atau ikut dalam sebatas diskusi.
Mereka tidak dibayar. Opini bahwa demonstrasi itu dibayar biasa terlontar dari mulut mereka yang tak pernah ikut demonstrasi. Dari mulut mereka yang tak berani turun ke jalan. Mereka yang mencari posisi nyaman. Menjilat dengan lidah seadanya.
Memang sih, ada-ada saja demo yang dibayar. Biasanya isu yang diangkat isu yang sempit. Seputar jatuh-menjatuhkan oknum.
Bagaimanapun juga, ada saja kebijakan pemerintah yang membuat rakyat marah. Kebijakan yang tak bisa ditolerir. Terlalu membodoh-bodohi.
Aku sendiri saja. Tak berkawan. Tak mendukung, tak juga menolak.
Aku menikmati pembodohan sebagai sebuah pemandangan. Sebagaimana aku menikmati mi instan yang kupesan. Dalam budaya menontonlah aku dibesarkan. Budaya tinggal konsumsi apa yang disajikan. Konsumerisme. Salah?
***
Demonstrasi semakin memanas. Massa aksi sudah dikelilingi oleh satuan-satuan pengawas. Mereka-mereka yang berseragam. Kepolisian.
Wajah-wajah demonstran memerah. Karena amarah, karena panas matahari, juga karena panasnya api. Ya, api. Tiga buah ban dibakar di tengah-tengah mereka. Lambang perlawanan.
Mi instanku sudah habis. Aku sekarang minum jus jeruk dingin. Dalam kesejukanku aku mengamati panasnya demonstrasi.
“Apa sebaiknya aku tutup saja, ya?” Kata si bibi.
“Bentar lagilah, Bi. Kita nikmati dulu pemandangan ini.” Kusampaikan kalimatku dengan nada sok kompak ala kota Medan.
“Nanti rusuh...”
“Kan nanti, rusuhnya, Bi.”
Si bibi duduk disampingku. Dia melipat-lipat kain lap tangan putih bermotif kotak-kotak biru, serapi mungkin.
“Bibi, cemana, dukung atau tolak kenaikan BBM ini?” kataku
“Ya kalau bisa janganlah naik. Susah nanti semuanya. Makin mahal. Ini aja belum naik dah mahal harga cabe. Gimana kalau nanti naik.”
“Jadi, ikut demo lah, Bi?”
“Ah, ngapain demo-demo.”
Si bibi berdiri dan meletakkan kain lap tangan ke meja yang seharusnya.
Aku tersenyum kecil.
Bagaimana mungkin pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat kalau rakyatnya tak menyampaikan apa yang dimauinya? Bagaimana mungkin politikus bersih di atas sana diterima pendapatnya bila rakyat yang di bawah tak teriak mendukungnya? Rakyat yang bisu adalah peluang bagi korupsi di atas sana.
Ingin aku menyampaikan hal ini ke si bibi. Tapi tak usahlah, si bibi hanya ingin hidup tentram. Berjualan sebaik-baiknya dan memberi makan serta menyekolahkan anak-anaknya. Aku membantunya dengan mengonsumsi jualannya.
“Bi, berapa semua?”
“Sebelas ribu.”
Sesederhana itu seharusnya.
**
Aku berjalan kaki, melewati para demonstran. Aku hendak pulang. Aku tahu demo itu penting, tapi aku belum berniat. Aku memilih tidak berkawan.
Kebetulan saja aku tinggal di lingkungan mahasiswa dan rakyat kecil. Seandainya, aku tinggal di apartemen sana, bergaul dengan para pengusaha. Apakah aku memusingkan naiknya BBM?
Bukannya semalam suntuk berdiskusi kerakyatan, aku akan dugem dengan perempuan-perempuan berpakaian seksi. Bukannya berbagi kasih, aku akan bertransaksi. Ini semua hanya masalah kultur, aku kira. Terlalu cepat mengklaim salah-benar. Makanya, aku memilih tak berkawan!
Aku menghambat angkutan kota dan menaikinya. Perlahan tapi pasti, titik demo itu kujauhi. “Angkot ini menggunakan BBM.” Pikirku.
Aku melihat sepeda motor buatan Jepang yang kencang menyalib. Sepeda motor itupun menggunakan BBM. Kulihat juga pembangunan real estate yang gencar di kota Medan. Mesin-mesin berat yang digunakan, semua pakai BBM.
Teknologi sejauh ini masih sangat bergantung pada minyak. Oleh karena itu, masalah BBM adalah masalah pelik. Tak sekedar masalah subsidi.
Pikiranku melayang ke pertambangan minyak bumi. Lubang-lubang yang dipaksa, bumi dibolongi demi memperoleh minyak dari bawah tanah. Yang membolongi masih orang asing. Orang dalam negeri bodoh dan korup. Namun ketika orang asing yang mengeruk, ya keuntungan jadi sama mereka.
Serba salah.
“Akh, macet terus!” Seru si sopir angkutan kota.
Mobilnya terhenti, di depan kami ternyata ada titik demo lagi. Lima ratus meter dari rumah kosku.
“Aku disini saja, bang.” Kukatakan pada si sopir. Kuberi tiga ribu rupiah.
Aku berjalan lagi, menyusuri para demonstran. Mereka memaki sambil marah sambil tertawa. Mereka tak takut bahaya jika bersama. Dalam hati, aku mengagumi mereka.
Lima ratus meter kulewati, aku sampai di rumah kos. Di dalam kamar, kunyalakan televisi, sidang paripurna DPR pusat tengah digelar.
Wajah-wajah transaksi bermunculan. Adu argumen dengan memanfaatkan kata ‘rakyat’ terjadi. Minyak bukan hanya masalah konsumsi rakyat kecil, tapi juga pembangunan dan bisnis. Terlihat mereka menggunakan kata ‘rakyat’ demi pembangunan dan bisnis tersebut.
Lusinan drum diletakkan tepat di tengah peserta sidang. Drum itu berwarna hitam, pekat. Tampak drum itu sangat berat. Ada tetesan-tetesan cairan hitam mengeras di sekitarnya. Aku sangat yakin itu drum minyak.
Di kedua sisinya, tampak para ekonom berdasi tengah mendesain sesuatu. Apa itu? Tiba-tiba televisi kabur.
“Argh, masalah antena.” Benakku geram.
Aku keluar dan memperbaiki antena yang posisinya sudah tidak pas, mungkin digoyang angin. Lalu aku kembali menonton.
Aku kini melihat jelas yang didesain para ekonom berdasi itu. Sepasang sayap putih untuk setiap drum hitam. Drum minyak hendak dibawa terbang.
Ada juga politisi yang mengikat bagian bawah drum dengan tali-tali tambang. Ujung tali tambang dibiarkan menjulur ke luar gedung.
Disana, para demonstran menyambut.
“Tarik.” Bisik si politisi.
Demonstran menyambut tali itu dan beramai-ramai menariknya. Semua terpampang jelas di televisi.
“Perfect.” Kata seorang ekonom berdasi.
Mereka mundur meninggalkan desainnya. Dalam hitungan detik, sayap-sayap itu bergerak. Melambai lalu mengepak. Berberapa helai bulu terhempas.
“Perfect.” Kata ekonom berdasi itu lagi.
Kepakan sayap semakin kuat. Drum-drum itu mulai terbang.
“Talinya tertarik ke dalam, ayo tarik keluar!” Seru koordinator demonstrasi.
Massa buru-buru menarik. “Tarik! Tarik! Tarik!”Seru mereka keras beriringan.
“Lampunya! Lampunya!” Bisik seorang ekonom berdasi merangkap politisi kepada ajudannya.
Si ajudan menghidupkan lampu sorot yang juga didesain khusus. Cahaya BLSM memancar.
Drum terbang ke atas, sesuai desain sayap yang dirangkai. Demonstran yang tidak terima menarik drum tersebut agar kembali turun. Cahaya BLSM yang sengaja dipancarkan menyilaukan mata. Sudah dimana posisi drum?
Drum terbang ke atas, minyak bersayap itu menemui mereka yang tinggal di gedung-gedung tinggi. Minyak bersayap meninggalkan demonstran dan rakyat kecil, yang tinggal di rumah-rumah kumuh.
Semua terpampang jelas di televisi.
“Aku menonton saja?”
***
(Andri E. Tarigan, harian Analisa, 26 Juni 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi!