Menyorot Tiga Kesalahan Lapas

(Tulisan ini menyangkut kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan pada 11 juli 2013)
 
Kegelisahan masyarakat sontak terjadi terlebih karena adanya berita bahwa tawanan terpidana teroris juga termasuk sebagai tawanan yang kabur. Kegelisahan ini wajar sebab masyarakat kita masih begitu reaksioner terhadap terorisme dan media massa cenderung menyorot larinya teroris sebagai berita utama. Belum lagi karena ini bulan puasa, kita tahu bahwa agama Islam sering dihubung-hubungkan dengan terorisme. Sebuah stigma dangkal yang sebaiknya tidak dipelihara namun sudah terlanjur beredar di masyarakat. Berita terorisme sejauh ini memang masih sangat menjual.

Simpang siur angka juga membuat masyarakat turut gelisah. Berapa sebenarnya narapidana yang berada di dalam lapas? Berapa yang kabur? Berapa total terpidana teroris? Berapa yang sudah ditangkap atau yang menyerahkan diri?

Apabila seorang tawanan tidak menyerahkan diri dan memilih kabur, tentu dia membutuhkan logistik untuk bisa selamat. Bagaimana cara tawanan kabur mendapatkan logistik? Apabila dia tidak memiliki uang saku, maka ada kemungkinan dia melakukan aksi-aksi yang mengganggu keamanan masyarakat Tanjung Gusta dan sekitarnya. Di titik inilah masyarakat butuh kepastian. Semakin banyak angka napi kabur, semakin besar kemungkinan gangguan keamanan.

Gangguan keamanan yang sesungguhnya bukanlah ada beberapa teroris yang kabur. Penulis sendiri tidak menganggap narapidana teroris sebagai ancaman yang berbeda dari narapidana yang lain. Yang menjadi gangguan keamanan adalah ada banyak narapidana yang kabur. Kekhawatiran atas terorisme sebaiknya tidak mendistorsi realita kuantitatif bahwa narapidana yang kabur tidak sedikit.

Tanpa ada berita jebolnya lapas, bulan puasa sudah sering diwaspadai agar kriminalitas tidak meningkat. Kriminalitas di bulan puasa diwaspadai meningkat karena harga-harga bahan pangan di bulan puasa selalu melonjak secara signifikan. Ada tuntutan ekonomi luar biasa yang bisa merangsang terjadinya tindak kriminal. Ditambah dengan berita napi kabur, semakin runyamlah keadaan. Tak jarang pesan-pesan kaleng berkeliaran di pesan singkat seluler maupun di jejaring sosial, yang menyatakan “Jangan keluar rumah, waspada kriminalitas, ada narapidana kabur termasuk teroris”, mengganggu kenyamanan masyarakat.

Menyorot

Dibalik ekses yang timbul akibat kerusuhan di LP Tanjung Gusta, institusi yang bertanggungjawab atas kejadian ini perlu disorot. Kinerja apa yang dilakukan sehingga peristiwa yang tidak sederhana ini bisa terjadi. Bukankah ini suatu kelalaian?

Dari informasi di media, dijelaskan bahwa kerusuhan bermula dari padamnya listrik yang kemudian disusul matinya aliran air bersih. Keterangan dari Wamenkumham, Denny Indrayana, menyatakan bahwa jumlah tawanan di LP Tanjung Gusta sudah melebihi kapasitas. Disini terdapat tiga titik yang layak disebut sebagai kesalahan:

Padamnya listrik, matinya aliran air bersih dan jumlah narapidana yang melebihi kapasitas. Tiga kesalahan yang tentu membuat LP Tanjung Gusta rentan keamanannnya plus yang memicu kerusuhan. Padahal, LP Tanjung Gusta adalah lapas kelas satu. Institusi berwenang yang melakukan pembiaran atas ketiga kesalahan ini perlu ditindak, karena lalai.

Masalah jebolnya LP Tanjung Gusta juga bukan masalah yang boleh dianggap sepele, karena ini menyangkut kompetensi dari aparat keamanan negara kita. Sungguh sebuah coreng hitam bagi nama baik aparat keamanan kita, karena hanya dalam tempo beberapa jam saja lapas kelas satu bisa diambil-alih sepenuhnya oleh para narapidana. Dibakar pula.

Tak mungkin kita berbalik memuji kebolehan narapidana. Ada kondisi yang membuat para narapidana sedemikian liar. Narapidana kurang terfasilitasi hidupnya karena tiga kesalahan tadi.

Terkhusus untuk para sipir dan oknum lain yang menjadi korban kerusuhan ketika menjalankan tugasnya di LP Tanjung Gusta, penulis melayangkan rasa hormat. Pemerintah patut memberi penghargaan yang layak terhadap mereka. Mereka tentu sangat berjuang dalam menghadapi kerusuhan LP Tanjung Gusta.

Kejadian ini adalah teguran yang hidup. Kepolisian mesti siaga. Kepolisian pasti cukup potensial dalam mengamankan Sumatera Utara dan sekitarnya sekalipun ada banyak tawanan yang kabur. Apalagi kejadian ini bukan hanya sorotan lokal, melainkan nasional. Nama baik yang dipertaruhkan, berikut keamanan masyarakat.

Di sisi narapidana, otak kerusuhan yang perlu ditindak. Narapidana yang kabur belum tentu semua berkehendak melarikan diri, sebab kondisi lapas memang sudah tidak kondusif (rusuh dan kebakaran). Di sisi aparat keamanan, perlu ditindak tegas oknum berwenang yang melakukan pembiaran atas tiga kesalahan. Selebihnya, kepolisian perlu menunjukkan keseriusannya dalam menjaga keamanan dengan memastikan Sumatera Utara tetap kondusif paska jebolnya LP Tanjung Gusta. Semoga ekses negatif dari kerusuhan lapas tidak meluas.***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 15 Juli 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...