“Sesaat
lagi bulan puasa. Hari bahagiamu.” Kata ibu. Senyum ibu menari-nari. Matanya
berbinar-binar menatap Vriyatna.
Vriyatna
gundah. Senyumnya mengembang tapi bermakna hambar.
“Kau
akan menikah. Aku tak sabar menanti harinya, Vriyatna.” Kata ibu lagi.
Vriyatna
berlari kecil ke arah ibu. Dipeluknya ibu erat-erat.
“Tahun
ini berbeda, Bu.”
“Iya,
berbeda. Hadapilah dengan penuh kasih sayang. Aku tahu gundahmu. Tersenyumlah,
Vriyatna. Kau akan dewasa”
“Ibu...”
“Vriyatna...”
Ibu tersenyum kecil.
***
Siapa
yang tak mengenal Vriyatna? Kembang cantik yang mekarnya merah dengan dedaunan hijau
di segala sisinya. Setiap aroma yang dihembuskannya menebar udara segar.
Orang-orang suka
mendekati Vriyatna untuk menghirup aromanya. Sekedar menghirup aromanya saja.
Untuk memetiknya? Tak seorangpun yang berani. Vriyatna terlalu indah di mata
maupun di rasa.
Vriyatna
kembang yang mekar sepanjang masa. Bulan puasa adalah bulan favoritnya. Dalam
penglihatan mata sayunya, orang-orang tampil mulia di bulan puasa. Khalayak bertindak
seadanya, menentramkan hati Vriyatna.
Vriyatna
bukan penganut agama yang berasal dari timur-tengah. Dia orang biasa, dari
agama berbeda, yang terlahir indah adanya. Satu-satunya alasan dia menyukai bulan
puasa, karena keramahan yang diciptakannya, itu saja.
“Orang-orang
di bulan ini manis dan segar, Ibu. Seperti iklan sirup di televisi kita.”
Begitu
pengakuan Vriyatna kepada ibu. Selalu begitu, setiap tahunnya, setiap kali ditanya
kenapa ia begitu bahagia menyambut bulan puasa.
Pernah
sekali Vriyatna menaruh hati pada seorang pria. Sontak kala itu hatinya
berpesta. Si pria berbuat jenaka tanpa sengaja, Vriyatna jatuh cinta. Si pria
tak pernah menyadarinya. Vriyatna selalu mengingatnya.
Beberapa
bulan kemudian, pria itu pindah rumah, ke pulau berbeda. Tak terdengar lagi
kabarnya. Ia menjadi kenangan pengisi hati Vriyatna.
Hari
berlalu begitu saja. Sedih dan tawa berganti mengisi hati Vriyatna. Hanya ibu
yang tahu isi hatinya. Itupun tak sepenuhnya.
Vriyatna
sering dikerumuni lelaki desa. Rumahnya ada di perbatasan desa dan kota. Vriyatna
ramah terhadap mereka. Sesekali lelaki kota juga datang menggoda, Vriyatna tak
begitu suka.
“Mereka
miskin perihal laku jenaka.” Kata Vriyatna, menjelaskan.
Dalam
kehalusan kulit pipinya timbul merah muda merona tiap kali ia tertawa. Tiap itu
pula pria yang melihatnya berkali-kali jatuh cinta. “Oh Vriyatna, kau bidadari
ya!” Bisik-bisik di hati para pria.
Pernah
sekali ketika berkaca, Vriyatna tanpa sadar berkata, “Aku alam. Aku bagian
alam. Alam indah adanya. Aku indah adanya.”
Vriyatna memutar
tubuhnya di hadapan cermin. Kembali ke posisi semula, Vriyatna berkata, “Aku
secantik bulan puasa.”
Bagi
Vriyatna, bulan puasa lebih bernilai daripada bulan purnama.
***
Pesta
yang disebut-sebut akan dilaksanakan menjelang puasa tinggal sehari lagi. Pesta
pernikahan yang digagas oleh seorang pemuda kota. Ia yang akan menikahi
Vriyatna di pesta itu.
“Akhirnya
aku berhasil membelinya!” Seru sang pria, dalam sebuah pesta mabuk bersama
temannya.
Malam
itu ia berpesta hingga gila. Pesta pelepasan lajang.
“Sudah.
Beberapa jam lagi ritual pesta dimulai. Beristirahatlah.” Ujar seorang
sahabatnya.
“Akh...
Apa aku harus meninggalkan kalian?”
“Istirahatlah.”
Si
pria pun pergi ke kamar dan tidur.
Pesta
dimulai. Gemerincing bibir berbunyi di mana-mana. Wacana menimpa wacana.
Kesibukan terjadi seakan tak terarah. Namun, keriuhan punya satu tujuan,
memadukan si pria kota dan Vriyatna dalam rona budaya.
“Akhirnya
resmi.” Bisik si pria kota dalam hatinya.
Usaha
si pria cukup keras. Mulai dari melobi tetangga Vriyatna, mencuri hati ayah
Vriyatna, sampai memasang iklan ukuran besar di depan wajah ibu. Ibu jadi sulit
melihat wajah si pria, yang bisa dilihat ibu hanya iklan.
Vriyatna
tak begitu suka. Tapi srategi kota begitu memaksa. Yang alamiah dipaksa pasrah.
Vriyatna dipinangnya. Ayah Vriyatna dan ibu merasa sudah saatnya melepas peluk
mereka atas Vriyatna.
Berakhirlah
pesta. Vriyatna dibawa pergi dari pelukan ibu dan ayahnya. Kini Vriyatna ditidurkan
dan ditiduri di rumah si pria. Vriyatna digerayangi ala kota.
Kulit-kulitnya
dikelupas. Dilubangi, disedot minyak mentahnya.
Pernah
suatu ketika, pepohonan di kulitnya di bakar secara sengaja oleh si pria. Api
menjalar. Vriyatna tertutup asap. Asap memadati kamarnya.
Bahkan,
asap itu menguap ke luar kamar, ke luar kota, memadati seisi kota. Menjadi
kabut dimana-mana. Terdengar kabar, kabutnya menyebar sampai ke kota sebelah,
sampai juga kabutnya ke negeri seberang. Presiden sampai turun tangan meminta
maaf ke negeri seberang.
Di balik kabut yang
menjadi-jadi, tak ada yang mengerti luka hati Vriyatna. Terlihat wajah Vriyatna
selalu manis.
Di
suatu malam, kulit mulus Vriyatna diam-diam dibubuhi semen dan batu bata.
“Tenang, sayang.” Kata si pria. “Aku rindu pria jenaka!” Tangis Vriyatna.
Malam
menelan tangis Vriyatna. Mekar memerah Vriyatna yang harusnya ada tertutup
rapat di balik gedung-gedung kota.
Bulan
puasa telah tiba. Iklan sirup mulai menghias layar kaca. Semua orang mulai bertindak
seadanya. Bulan yang setiap tahun dinanti-nantikan oleh Vriyatna.
“Sudah
tiba bulan puasa. Bulan bahagiamu.” Kata ibu menelepon Vriyatna.
“Tahun
ini berbeda, Bu.” Sahut Vriyatna via telepon. Suaranya terdengar lembut.
Ibu
senang, penuh harapan.
Si
pria kota santai memegangi telepon yang menempel di telinga Vriyatna, sementara
tubuh Vriyatna terbujur kaku.
***
Medan, 2 Juli 2013
(Andri E. Tarigan, dimuat di kumpulan cerpen "Kejutan Sebelum Ramadhan-Edisi Terbaik" nulisbuku.com, 2013)
mantap bung... realitas sosial seperti ini amat bagus divisualisasikan via cerpen...
BalasHapusAmin S.