Mendamba Demokrasi Sosial di 2014

Secara garis besar, terdapat dua jenis demokrasi. Pertama, demokrasi liberal, demokrasi ini mewujudkan kekuasaan rakyat dengan cara menjunjung tinggi kebebasan individu. Kedua, demokrasi sosial, demokrasi ini mewujudkan kekuasaan rakyat dengan memperjuangkan kesejahteraan bersama. Lebih condong kemanakah praktek demokrasi di Indonesia? Seperti apa harapan kita?

Demokrasi yang seharusnya berjalan baik di Indonesia mengalami cobaan keras ketika rezim Orde Baru berdiri secara otoriter selama 32 tahun. Berdirinya rezim ini diawali dengan pembantaian massal terhadap sejumlah orang yang dituduh komunis, pembantaian besar yang menurut opini beberapa pengamat sudah tergolong genosida (pemusnahan, jenis kejahatan HAM paling parah). Sebuah rezim otoriter yang diawali dengan ‘pemusnahan manusia’ ini membuat demokrasi di Indonesia berjalan timpang, karena kubu politik sosialisme telah kehilangan salah satu tiangnya, yakni komunisme-marxisme. Akibatnya, kerakusan individual ala politik liberalisme yang menguasai Indonesia.

Kondisi bertambah parah karena rezim yang ada berjalan secara militeristik. Mereka yang bisa menikmati kerakusan individu hanyalah mereka yang berdiam di lingkaran sosial penguasa. Selebihnya, rakyat yang jumlahnya mayoritas, mesti tunduk pada komando penguasa. Kebebasan individu di tataran masyarakat menjadi barang langka. Masyarakat kehilangan hak berdemokrasinya: untuk politik berbau sosialisme maupun liberalisme.

Kerinduan masyarakat akan demokrasi memuncak, Reformasi 1998 meletus, terjadi pergantian rezim. Bukannya menegakkan esensi UUD 1945, rezim yang baru cenderung membuka keran untuk kebebasan individu, demokrasi liberal. Bagaimanapun juga, kebebasan individu merupakan hal yang sangat didambakan masyarakat, sebab pada orde sebelumnya kebebasan individu hanya dapat dinikmati oleh kaum penguasa. Tentu terdapat pula penyebab lain munculnya demokrasi liberal di Indonesia yang sifatnya lebih teknis, seperti kemajuan teknologi informasi dan kepentingan modal global.
Masyarakat Era Reformasi menampilkan dirinya sebagai masyarakat yang terbuka bagi perdagangan global. Masyarakat membutuhkan pembaharuan yang sifatnya berkelanjutan. Perdagangan global memfasilitasi hal ini.

Hanya saja, dalam konstelasi perdagangan global yang melibatkan Indonesia, Indonesia dengan demokrasi liberalnya terlihat menempati posisi sebagai korban. Kondisinya dapat kita lihat, alam Indonesia berlubang-lubang dikeruk oleh pemodal asing, masyarakat Indonesia dijadikan pekerja murah di tanahnya sendiri. Masyarakat asli Indonesia, masyarakat adat, terancam identitas dan kawasannya.

Demokrasi Sosial

Menilik poin-poin yang terdapat di Undang Undang Dasar 1945 dan Pancasila, terlihat jelas bahwa Indonesia tidak berdiri di atas pondasi politik demokrasi yang liberal. Demokrasi liberal yang kini muncul di Indonesia lebih merupakan kondisi situasional yang muncul karena upaya mereformasi Indonesia sejak 1998 tak kunjung rampung. Bahtera bangsa masih belum berlayar ke arah yang ditentukan sejak semula.
Demokrasi yang diusung Indonesia adalah demokrasi sosial. Kemuakan terhadap praktek kolonialisme ditambah tren politik global yang ‘kekiri-kirian’ membuat founding fathers negara ini memilih demokrasi sosial. Tujuan berdirinya negara ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyejahterakan segenap bangsa.

Ketika saat ini kesenjangan sosial dan pembodohan publik terjadi di tengah-tengah praktek berdemokrasi di negeri kita, demokrasi Indonesia bisa dikatakan telah kehilangan arahnya. Bicara politik saat ini jadi sebatas bicara jual-beli spanduk dan kotak suara, bukan lagi bicara pengumpulan aspirasi bersama untuk pencapaian kesejahteraan bersama. Telah terjadi disorientasi.

Tentu hal ini tak bisa diselesaikan hanya dengan berharap pemimpin baik hati mendadak muncul di atas sana yang asalnya entah darimana. Indonesia butuh peran aktif masyarakatnya. Masyarakat perlu melakukan tawar-menawar politik, apakah Indonesia sebagai negara bisa menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Masyarakat mesti aktif berpolitik, agar pemimpin tak semena-mena.

Apapun aktivitas politik para elit di atas sana, mereka tetap terkait dengan kehendak politik masyarakat. Demokrasi sosial, yang sesuai dengan cita-cita negara Indonesia dan yang menguntungkan masyarakat, hanya bisa terwujud apabila masyarakat berperan aktif menuntutnya. Masyarakat mesti aktif menuntut agar kita tak menjadi korban dari perdagangan global dan demokrasi siluman yang saat ini mengikat kita.

Pemimpin 2014

Selayaknya kita jemu dengan konstelasi politik yang kini menaungi kita. Sebab, kita seperti ayam tanpa induk, seakan berpolitik tanpa pemimpin. Keberadaan kita habis diotak-atik kehendak modal. Rezim yang ada seperti autopilot, bergerak seadanya saja, asal jalan saja. Pemimpin politik yang muncul di televisi terlihat seperti spanduk, hanya berbentuk gambar dan kata untuk menunjukkan bahwa mereka ‘ada’ saja. Faktanya, sangat minim perlindungan sosial bagi masyarakat kita, sementara pebisnis asing dibiarkan terus-menerus masuk dan mengeruk potensi kita dengan harga murah.

Masyarakat yang jenuh kini merindukan kepemimpinan yang tegas dan keras. Penulis, melihat sebaliknya. Mendambakan pemimpinan yang tegas dan keras beresiko membuat Indonesia kehilangan kembali kebebasan demokrasinya. Kiranya jangan merindukan Soeharto baru. Yang kita butuhkan adalah demokrasi sosial, sebuah sistem, bukan hadirnya pemimpin yang mengancam demokrasi.

Pemilihan presiden pada 2014 nanti akan menentukan perjalanan Indonesia untuk lima tahun ke depan. Jangan melihat calon presiden hanya dari karakter individunya, tapi lihat program politiknya, sistem seperti apa yang hendak dirangkainya. Apakah orang tersebut akan menyelamatkan Indonesia, dengan mewujudkan demokrasi sosial di Indonesia? Apakah ia berbuat untuk meningkatkan human development dan jaminan sosial, agar kita tidak menjadi korban dalam konstelasi perdagangan global?

Idealnya, kita tidak diatur oleh pemimpin yang bertindak layaknya spanduk dan senapan. Tetapi, kita diatur oleh sebuah sistem demokrasi sosial yang berlangsung untuk kebaikan kita. ***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 6 Januari 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...