Korupsi dan Paradigma Kapitalistik



Traumatik atas kekuasaan otoriter 32 tahun Orde Baru membuat reformasi memiliki sejumlah agenda khusus yang harus diselesaikan. Salah-satu agenda yang tak kunjung dapat diwujudkan setelah 15 tahun reformasi berjalan adalah pembersihan korupsi di institusi kenegaraan. Korupsi masih terus menjalar. Sempat terdengar bahwa ada survei yang menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di dunia. Penyakit serius yang mesti kita perhatikan.

Korupsi di institusi kenegaraan mewujud ketika ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat publik maupun pegawai negeri. Semestinya, mereka bekerja dalam kerangka pengabdian dan digaji sesuai kebutuhan. Akan tetapi, entah karena minimnya kontrol masyarakat atau karena minimnya semangat nasionalisme, institusi kenegaraan kemudian dijadikan ladang korupsi oleh para petugasnya.

Aset-aset negara diolah seolah aset pribadi. Tanggung jawab melayani kepentingan publik sebaik mungkin berganti menjadi kepentingan individu mencari profit. Seakan sedang berbisnis, banyak pejabat publik yang berupaya mencari keuntungan pribadi dalam setiap aktivitasnya. Dengan adanya sikap seperti ini, tak heran, rakyat yang mengurus KTP saja bisa dimintai biaya sampai ratusan ribu. Pemungutan liar terjadi.

Tak hanya masalah pemungutan liar, sikap-sikap birokrasi negara yang mempersulit akses publik juga bisa digolongkan sebagai tindakan korupsi. Apalagi, kalau sampai terjadi “pilih-pilih bulu” dalam akses-mengakses tersebut. Kalau pemungutan liar dan penyulitan akses terus terjadi, intitusi kenegaraan kita lama-kelamaan akan kehilangan kepercayaan publik, karena sikapnya (korup) bertentangan dengan prinsipnya (pengabdian).

Masalah “membisniskan” aset negara memang telah berlangsung layaknya lingkaran setan dewasa ini. Untuk bisa menjadi pegawai negeri ataupun pejabat publik, tak jarang orang memaklumkan jalan menyuap pejabat publik terlebih dahulu. Suap tersebut jadi semacam investasi. Setelah si penyuap terpilih kemudian bekerja di institusi kenegaraan, gilirannyalah meraup untung, memetik “buah dari investasi”. Caranya? Korupsi. Dibukanya lagi ladang suap yang baru.

 Partai politik yang semestinya jadi lumbung aspirasi rakyat kini cenderung bersikap seperti industri pop. Bahasa ideologi yang digelontorkan jadi sekedar lip service untuk masyarakat. Kejar-mengejar elektabilitas terjadi. Yang penting mendapat suara terbanyak, yang penting menang. Modal super besar dikucurkan ketika kampanye. Lagi-lagi modal besar ini semacam investasi. Setelah menang pemilu dan memegang tampuk kekuasaan negara, tibalah waktunya memetik “buah investasi”. Caranya? Korupsi juga. Terlihat dari aspirasi rakyat yang tak kunjung diwujudkan malah korupsi yang semakin merajalela.

Memandang cacat politik yang seperti ini, terngianglah di telinga frase filsafat zaman pencerahan yang menyebutkan, “Power tends to corrupt”. Kekuasaan cenderung korup. Apapun dalihnya, nasionalisme atau bahkan religiusitas (politisi sering menggunakan kutipan-kutipan agama sebagai lip service-nya), tetap berkecenderungan untuk korup.

Globalisasi
 Satu-satunya hal yang mengharuskan kita menjaga kelestarian institusi-institusi kenegaraan agar tetap berkembang sesuai tujuan sejatinya, adalah nasionalisme. Nasionalisme terbentuk dari kesadaran bersama, masyarakat sebangsa dan setanah-air. Kesadaran ini kita peroleh dari pembelajaran terhadap sejarah bangsa. Bagaimana pembelajaran sejarah bangsa di negeri ini? Minim. Pelajaran sejarah masih dipandang sebelah mata. Perdebatan sejarah belum menjadi tungku api yang menghangatkan kehidupan bermasyarakat. Tak heran nasionalisme beserta ideologi turunannya kurang dijiwai, berakhir sebagai lip service belaka.

Ditambah lagi serangan globalisasi yang melanda, baik serangan trend maupun serangan investasi. Indonesia jadi sulit dibangun sesuai falsafah negara. Kita dirundung hegemoni bisnis, yang membuat nasionalisme dipandang sebelah mata. Pejabat yang ikut-ikutan memandang nasionalisme sebelah mata, jadi koruptor.
Ketika pejabat dan pegawai negeri tak mampu lagi menjadi panutan dalam mempraktekkan nasionalisme, masih beranikah kita menyerahkan otoritas yang besar pada institusi kenegaraan? Bukankah akan dikorupsi nantinya? Hal ini membuat nasionalisasi aset yang berkaitan dengan kepentingan publik, tidak lagi dipandang sebagai jawaban. Malah menakutkan.

Banyak bagian dari masyarakat yang lebih percaya untuk berurusan dengan swasta. Servis dan kompetensinya konon lebih terjamin. Adanya korupsi di institusi kenegaraan, inkompetensi dalam menyejahterakan rakyat, mendorong terbentuknya masyarakat yang kapitalistik. Di tataran individu, liberalisasi kerap terjadi.

Mengkristal pula paradigma kapitalistik ini dalam kebijakan terbaru pemerintah yang akan merundung Indonesia sampai tahun 2025, yaitu MPE3I. Indonesia akan dibanjiri modal besar yang banyak bermain di sektor pertambangan dan perkebunan. Semangatnya adalah mimpi membuat Indonesia menjadi negara maju.

Di babakan baru MP3EI ini kita mesti berhati-hati. Serangan investasi asing, penyewaan tanah-air dan maraknya korupsi yang bercokol di institusi kenegaraan, akan membentuk tatanan ekonomi-politik yang baru di Indonesia. Kalau korupsi tak kunjung diberantas, bisa jadi masyarakat akan lebih mencintai aktivitas swasta, meremehkan aktivitas institusi kenegaraan, lalu membiarkan nasionalisme menguap dan terbang entah kemana. Lantas, Indonesia kehilangan dirinya.

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 5 April 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...