Hai, selamat datang di blog pribadiku. Blog ini berisi portofolio tulisanku sebagai freelance writer. Selamat membaca. :)
Mari (Tetap) Berharap pada Pemilu
Pemilu 2014 menjadi pemilu yang sensasional, sebab telah hadir sesosok tokoh muda yang siap bersaing melawan elit-elit politik tua merebut kursi kepresidenan, sosok tersebut adalah Joko Widodo. Orang yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta ini hadir sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kebolehannya sebagai capres dengan elektabilitas tertinggi berdasarkan survey, membuat lawan-lawan politiknya tidak boleh sembarang unjuk diri untuk bisa menyainginya.
Jokowi sendiri diterpa stigma tak sedap. Sering dikemukakan dalam berbagai opini media bahwa Jokowi hanya mampu menjadi “boneka” dari kekuasaan Megawati. Jokowi secara pribadi dinilai tidak punya kekuatan yang mumpuni untuk berkuasa secara nasional. Stigma ini memposisikan PDI-P, partai yang mengaku sebagai partainya wong cilik, sebagai partai yang berkecenderungan feodal, bekerja dibawah kekuasaan keturunan Sukarno semata.
Orang yang digadang-gadang sebagai rival besar Jokowi di Pemilu 2014, capres dari Partai Gerindra yaitu Prabowo Subianto, juga diselimuti citra negatif. Prabowo disebut-sebut sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Prabowo diminta bertanggungjawab atas penculikan dan pembunuhan aktivis ’98, dimana Prabowo pada saat itu menjabat sebagai petinggi Kopassus. “Prabowo mesti diadili di Pengadilan HAM Internasional”, kira-kira seperti itu tuntutan yang disampaikan kepada Prabowo, oleh para aktivis dari berbagai kalangan.
Pemilu legislatif yang telah lebih dahulu dilaksanakan, memunculkan tiga nama partai dengan suara terbanyak, yaitu PDI-P, Golkar dan Gerindra. Hal ini membuat capres yang hendak bertarung dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie, diperhitungkan setara dengan Jokowi dan Prabowo. Tak lepas juga ia dari citra negatif. Aburizal Bakrie masih dituntut oleh segenap masyarakat, untuk bertanggungjawab atas kerusakan ekologi-sosial dalam kasus Lumpur Lapindo dan terdapat sejumlah kecurigaan adanya penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan milik Aburizal Bakrie.
Ada yang menarik dari hasil pemilu legislatif kali ini, yaitu tidak munculnya Partai Demokrat dalam tiga besar partai pemenang pemilu. Padahal, Partai Demokrat adalah partai yang kini berkuasa.
Ketidakmampuan ini menjadi bukti lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap Partai Demokrat. Kader-kader terbaik Partai Demokrat, banyak yang dipenjara karena kasus korupsi. Pada akhirnya rakyat mulai jenuh terhadap elit korup sehingga tak lagi menaruh kepercayaan besar terhadap Partai Demokrat.
Padahal, Partai Demokrat telah berupaya untuk memperbaiki diri. Untuk penentuan kandidat calon presiden yang akan bertarung di Pemilu 2014, Partai Demokrat mengadakan konvensi yang menghabiskan banyak dana dan tenaga. Nama-nama populer bermunculan. Dari Dahlan Iskan sampai Anies Baswedan. Namun, ternyata hal tersebut tidak mampu menjadi obat atas lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap Partai Demokrat.
Semakin dekat dengan bulan Juli 2014, bulan dimana perhelatan pemilihan presiden dilaksanakan, citra-citra negatif semakin menyelimuti sosok-sosok capres yang akan bertarung. Akan tetapi, disamping ekspos negatif tersebut, terjadi pula perdebatan ideologis antar partai maupun antar tokoh. Bersyukur, banyak kader partai yang memilih untuk aktif mengedukasi masyarakat perihal politik berdasarkan ideologi partai masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa politik bukan sekedar rebut-merebut jabatan, tetapi lebih bagaimana masyarakat dibangun, demi terwujudnya cita-cita mulia bersama.
Keraguan
Tak diragukan lagi bahwa kata-kata yang dikeluarkan banyak politisi saat ini sangat perlu diragukan! Terlalu banyak bias informasi yang kini terjadi. Bisa jadi bias karena ingin membangkitkan euforia partai, agar lebih menghegemoni, sehingga informasi yang disampaikan cenderung asal-asalan asal bisa meningkatkan elektabilitas partai. Bisa jadi pengamat politik ataupun politisi yang cukup kita hargai malah bicara ngawur dan terlalu membenar-benarkan partai tertentu, karena orang tersebut sudah dibayar oleh partai untuk berbicara demikian. Segala jenis bias ini sangat mungkin terjadi. Terlebih, ini era informasi digital, era informasi kilat. Era dimana kabar bisa cepat beredar tanpa dijamin kesahihannya.
Sejalan dengan sinisme zaman pergerakan yang menyebut parlemen sebagai “komedi putar”, banyak juga orang yang pesimis dengan kerja-kerja partai politik dan perhelatan pemilu. Mereka menyebut diri “golput”, karena belum melihat pemilu sebagai jalan keluar untuk menyejahterakan rakyat. Ada yang melihat pemilu sebagai intrik para elit, pembodohan terhadap rakyat.
Pesimisme terhadap pemilu membuat orang-orang yang tergerak untuk membangun negeri lebih memilih untuk bergerak di akar rumput (grassroot). Mereka lebih memilih terjun langsung ke masyarakat dan melakukan perubahan dari kalangan bawah. Mereka mencintai dampak langsung. Pemilu, permainan kalangan atas, dianggap sebagai sekedar pintu gerbang komedi putar.
Berharap
Satu hal yang mesti dipahami adalah kenyataan bahwa pemilu merupakan elemen terpenting dalam demokrasi. Pemilu mesti dilaksanakan sedemokratis mungkin.
Tanpa pemilu, tidak ada demokrasi. Yang ada otoritarianisme, yang ada fasisme.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, pemilu tidak berlangsung secara demokratis, pemilu hanya perhelatan yang sudah ditentukan terlebih dahulu hasilnya. Masa Reformasi telah menghadiahkan pemilu yang bertujuan untuk demokratisasi, membuka peluang sebesar-besarnya untuk semua kalangan berpartisipasi aktif dalam politik. Kenapa tidak dimanfaatkan?
Memang, terdapat sejuta intrik yang dapat membuat pemilu menjadi ajang pembodohan. Ada calon-calon yang kapasitasnya belum sesuai keinginan kita, bahkan terindikasi korup, atau mungkin penjahat HAM! Bagaimanapun juga, dalam pemilu kita memilih the lesser evil, kita memilih yang terbaik di antara yang terburuk. Oleh karena itu, pemilu mesti kita rawat sebaik mungkin. Pemilu adalah jalur demokratisasi kekuasaan. Tanpa berpegang pada pemilu, kita akan kembali dirundung fasisme.
Bulan Juli ini, kita akan memilih penerus RI-satu. Pesimisme tak akan membantu, mari tetap berharap pada pemilu. Dalam demokrasi kita menyatu.***
(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 24 Mei 2014)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 Langkah Audit Perusahaan
Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...
-
Namaku Kartini. Pasti kau sering mendengar nama itu ketika masih SD. Yang terbayang di kepalamu, sosok ayu dengan sanggul di kepalanya,...
-
Pemerintah kota mencetuskan agenda penggusuran para pedagang buku bekas, yang berlokasi di Titi Gantung. Sebuah kebijakan yang sulit dito...
-
Seiring modernisasi dan bergulirnya wacana otonomi daerah, Simalungun rencananya akan dimekarkan. Rencana membagi dua wilayah Simalungun...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi!