Indonesia memasuki masa baru. Terpilihnya Jokowi-JK sebagai pemenang Pemilu 2014 menjadi pintu terbuka bagi Indonesia untuk memperbaiki diri, melakukan perubahan-perubahan baik bagi Indonesia sesuai dengan konteks kekinian. Salah satu sektor yang mesti dibenahi adalah sektor pendidikan.
Pendidikan formal yang digagas negara merupakan media utama pembentuk frame berpikir masyarakat. Apa yang diajarkan melalui pendidikan formal Indonesia pada hari ini akan berkembang menjadi dasar berpikir masyarakat Indonesia di masa yang akan datang. Ketika pemerintah berhasrat untuk memajukan masyarakat, hal yang mutlak dilakukan adalah inovasi berkesinambungan di bidang pendidikan. Agar, tercipta tatanan masyarakat yang lebih baik di masa depan.
Perbaikan mestilah berdasar. Melirik kurikulum 2013 yang kini sedang hangat-hangatnya dibicarakan, terlihat bahwa pemerintah hendak membentuk generasi baru yang memiliki karakter moral yang baik. Moral, dalam pengertian agama. Tak heran, dalam garis besar pelajaran yang termuat dalam kurikulum 2013, para pelajar diarahkan untuk berusaha memahami keterkaitan sains dengan kebenaran-kebenaran agama. Suatu usaha yang tampak sangat dipaksakan.
Ada perbedaan besar antara sains dan agama, sekalipun keduanya bertujuan mulia dan tak jarang berjalan secara bergandengan dan saling mengisi. Sains merupakan upaya terus-menerus dari manusia, untuk mengenali realita yang sesungguhnya. Dalam upaya tersebut, teori bisa patah, yang dianggap benar boleh disalahkan. Yang diusung disini adalah rasionalitas dan ketundukan pada kaidah-kaidah ilmiah, yang wajib memiliki pembuktian empiris.
Agama adalah perpanjangan tafsir atas wahyu-wahyu yang tidak lahir dari pembuktian empiris. Tak perlu repot-repot membuktikan, cukup diyakini. Keyakinannya adalah agama bisa membuat kehidupan menjadi lebih baik dan bagi agama tertentu bisa membuat manusia mengecap kebahagiaan surgawi. Dasar empiris dan dasar keyakinan inilah yang membuat sains dan agama benar-benar berbeda. Ketika pendidikan formal didasarkan pada keyakinan non-empiris, sains tercederai.
Pendidikan Indonesia sebaiknya merupakan pendidikan yang berlandaskan kebenaran sains mengingat negara kita adalah negara sekuler. Negara ini tidak dibentuk berdasarkan wahyu dan ayat kitab suci, melainkan berdasarkan pemahaman empiris atas kebutuhan segenap elemen bangsa. Ada kebutuhan duniawi akan negara, maka muncullah negara. Sekalipun, diketahui bahwa founding fathers negara ini tak lupa mengucap syukur dengan mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung atas berkat dan rakhmat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Negara Indonesia adalah negara sekuler, bukan negara agama, sekalipun masyarakat Indonesia memiliki religiusitas yang aktif dalam bentuk agama-agama. Negara sekuler dibangun dengan kecerdasan saintifik.
Kesadaran Historis
Segenap bangsa Indonesia mesti mengenali sejarah bangsanya. Sejarah sebagai catatan bukti empiris, agar Indonesia berkembang berdasarkan pemahaman akan realita, sebagaimana pembentukan awalnya. Analisa historis selayaknya dimuat sebagai dasar kemunculan dari setiap pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah formal. Ketika kebenaran pendidikan formal Indonesia bukan berlandas pada sejarah bangsa, tetapi pada anjuran-anjuran kitab suci, kita sedang ‘menyesatkan’ negara sekuler ini.
Tidak ada maksud untuk mengabaikan agama. Agama membentuk akhlak dan merupakan wadah religiusitas, hak yang asasi. Agama sangat penting. Perlindungan agama mesti diutamakan oleh Negara. Tetapi, pengembangan agama memiliki wadahnya tersendiri. Ketika pengembangan agama hendak dilaksanakan di pendidikan formal, maka dasar dari diizinkannya pengembangan tersebut tetaplah dalil yang historis.
Demi terwujudnya pendidikan yang ideal di Indonesia, orang yang dipercaya menjadi stakeholders pendidikan Indonesia baiknya adalah orang yang memiliki wawasan sejarah yang mapan. Bukan sekedar orang yang lihai berpolitik ataupun berbisnis, tetapi orang yang kompeten membaca gerak sejarah dan mampu menghasilkan ide-ide yang brilian bagi kemajuan negara, hasil perenungan historis.
Sejarah memang catatan, tapi historisitas tak sekedar hidup di atas kertas. Ia adalah pemahaman terus-menerus terhadap realita. Atas dasar tersebut, pendidikan yang digagas hari ini mesti lahir pula dari pemahaman akan realita hari ini. Pendidikan baiknya realistis.
Demi terbitnya pendidikan yang realistis, permasalahan hari ini penting dikaji secara mendalam oleh para penggagas pendidikan. Masalah yang kini dihadapi Indonesia sangat terlihat secara terang-benderang: Arus deras pasar bebas, krisis kedaulatan, kesenjangan sosial, perusakan lingkungan, korupsi sistemik, dan lain sebagainya.
Harus ada perumusan terhadap masalah hari ini dan dari situlah muncul inovasi pendidikan. Penggagas pendidikan tidak boleh malas dan menyerahkan ide pendidikan begitu saja pada tafsir agamis. Rasionalitas mesti gencar diaktifkan.
Kurikulum 2013 perlu digodok ulang apabila kecenderungan agamisnya terlalu tinggi. Sudah ada wadah untuk agama yang diupayakan secara mandiri oleh masyarakat. Permasalahan pendidikan adalah pembentukan kecerdasan kita.
Kesempatan memajukan pendidikan kini berada di tangan kabinet Jokowi-JK, nakhoda bangsa untuk lima tahun ke depan. Alangkah tepat apabila pemilihan Menteri Pendidikan oleh Jokowi-JK didasarkan pada kompetensi yang tepat. Yakni, kesadaran historis yang mapan. Sehingga masa pemerintahan baru ini bisa menjadi masa yang memajukan.***
(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 1 September 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi!