Percakapan (Bisa) Menjadi Tulisan







Menulis adalah budaya yang sangat penting. Dalam tulisan, pikiran dapat disampaikan segamblang-gamblangnya. Dengan adanya tulisan, pemikiran demi pemikiran dari masa ke masa bisa terdokumentasikan. Menulis adalah tugas peradaban.


Sebagai budaya, menulis eksis karena kebiasaan. Semakin sering kita menulis, semakin tajam pena kita. Semakin kita mengasahnya, semakin tajam pikiran yang bisa didokumentasikannya. Tahapan ini yang telah dilalui oleh para penulis besar, sehingga tulisan mereka pada akhirnya mampu menjadi pembaharu peradaban.

Kebesaran tersebut membuat kita layak mencintai tulisan. Tak heran, banyak orang yang terpesona pada tulisan dan banyak pula yang bermimpi membuat tulisan yang mempesona. Akan tetapi, banyak orang yang masih bingung harus memulai dari mana.

Ketika seorang calon penulis bertanya kepada para penulis tentang apa yang harus dilakukan untuk memulai sebuah tulisan, jawaban sarkas namun halus seringkali dilontarkan oleh para penulis, bunyinya kira-kira seperti ini, “Cara untuk memulai tulisan adalah dengan menulis.”

Si calon penulis bisa tertawa dan bisa jadi malah terdiam kalau sudah diberi jawaban seperti ini. Kemungkinan dalam pikirannya akan terbersit sindiran, “Kalau itu, semua orang juga tahu!” Dan bisa jadi sindiran tersebut disambut dengan omelan yang juga terbersit di pikiran, “Okelah, kalau mau memulai tulisan ya dengan menulis. Masalahnya, apa yang mau ditulis?”

Menulis adalah pekerjaan mengotak-atik kata. Jika muncul pertanyaan, “Apa yang mau ditulis?”, maka secara sederhana jawabnya adalah: tulislah apapun yang bisa digambarkan dengan kata-kata. Yang bisa digambarkan dengan kata-kata adalah apapun yang bisa diamati oleh akal sehat kita. Itulah bahan dasar tulisan.

Agar menulis bisa menjadi proses yang terasa nikmat, tulislah hal yang memang dinikmati pikiran kita. Tulislah fenomena yang membuat kita bergairah.

Percakapan
Aset penting dalam hidup kita adalah percakapan. Percakapan menghubungkan kita satu dengan yang lain. Percakapan adalah jembatan hidup bagi manusia untuk bertukar emosi dan pikiran.

Ada kalanya percakapan kita abaikan. Karena, percakapan adalah hal yang otomatis kita ciptakan sepanjang hari. Sebegitu mudahnya percakapan diciptakan, sehingga bagi para pelakunya tak terlalu rugi untuk mengabaikannya.

Percakapan sering menguap begitu saja. Hilang diterpa angin lalu, atau digusur percakapan baru.
Kembali pada pembahasan tentang menulis, mari kita pahami bahwa menulis itu seperti melakukan percakapan. Proses intinya sama, mengotak-atik kata.

Percakapan tersusun dari kata-kata. Maka, sebagai manusia, mahkluk yang terlibat dalam percakapan-percakapan hampir di sepanjang hari dalam hidup kita, mari kita sadari bahwa hidup kita kaya akan kata-kata.

Kata-kata tersebut, apabila kita mau aktif untuk memotretnya, merekamnya, mendokumentasikannya, kita bisa menjadikannya tulisan-tulisan.

Memotret Percakapan
Luangkan sejenak waktu untuk melihat kolom Opini di Harian Analisa pada 23 September 2014. Di kotak berwarna oranye, terdapat tulisan dari saudara Rinto Tampubolon berjudul Renungan Pak Tamba.
Di dalam tulisan tersebut, diutarakan segaris percakapan yang terjadi di jejaring sosial facebook. Percakapan ini menjadi isi hampir seluruh tulisan. Sisa isi yang sedikit adalah pendapat orisinil dari penulisnya.

Terlepas dari isi tulisan yang dalam dan bermanfaat, tulisan ini menyiratkan suatu trik. Trik yang menunjukkan kesadaran bahwa percakapan mengandung kata-kata, dan kata-kata itu bisa didokumentasikan, dihadirkan kembali, dalam bentuk tulisan. Yang dilakukan oleh saudara Rinto Tampubolon adalah memotret percakapan. Percakapan menjadi tulisan.

Rinto Tampubolon bukanlah penulis pemula, tulisannya sudah malang melintang di berbagai media massa dari tahun ke tahun. Tapi, trik yang digunakannya dalam tulisan tersebut, ampuh untuk digunakan para penulis pemula dan para calon penulis.

Ini merupakan sebentuk produktifitas. Percakapan yang kemungkinan akan dilupakan malah dijadikan bahan untuk membuat tulisan. Merunut trik ini, mengingat kita pernah melakukan percakapan dimana-mana, itu berarti bahan untuk tulisan bisa kita dapatkan dimana saja.

Bahan tulisan berserak dimana-mana. Terukir di jejak-jejak percakapan yang telah kita lakukan dalam keseharian kita, di kedai kopi, rumah, kantor, sekolah, kafe, sekretariat organisasi, pasar, internet, SMS, dan sebagainya. Pilih yang kita suka, lalu rangkai dalam bentuk tulisan.

Ini adalah kabar gembira buat siapa saja yang ingin menulis. Terkhusus, buat calon penulis yang masih terjebak dalam pertanyaan, “apa yang harus dilakukan untuk memulai tulisan?”

Sadari bahwa kita makhluk yang senantiasa menciptakan percakapan-percakapan. Itu semua bisa jadi bahan tulisan. Percakapan bisa menjadi tulisan.***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 8 Oktober 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...