Cerdas Memilih Kepala Daerah



Musim pilkada sudah menyambangi Indonesia. Para politisi lokal mulai beradu taji, siapa yang paling layak menjadi orang nomor satu di daerahnya. Berbagai upaya telah diluncurkan, mulai dari pendekatan dengan komunitas-komunitas, iklan-iklan politik, spanduk yang mengubah wajah jalan raya dan kompleks pemukiman, sampai pemuatan berita-berita “pesanan” di berbagai media massa.

Masyarakat menjadi objek. Masyarakat ibarat domba yang siap digembalakan. Dengan satu pertanyaan: Siapa yang jadi gembalanya? Jawaban atas pertanyaan itupun dikonstruksi oleh para politisi. Agar, ketika masyarakat melangkah berbondong-bondong ke TPS nantinya, tahu hendak memilih siapa. Pengetahuan yang dibentuk via kampanye.

Disini, masyarakat mesti bisa memilah. Mana pengetahuan yang menyukseskan masyarakat, mana pengetahuan yang menyukseskan tim sukses (TS) belaka. Jika ternyata yang memenuhi coblosan atau contrengan kertas di kotak suara adalah pengetahuan yang kedua, maka gelaplah cakrawala demokrasi. Edukasi konstitusi tak mencapai target, masyarakat tak menjadi tuan atas demokrasi. Hanya menjadi objek, bukan subjek.

Sejatinya, masyarakat adalah subjek bagi demokrasi, pelaku praktek demokrasi itu sendiri. Masyarakat mengatur masyarakat, pemimpin sebagai perantara. Bupati ataupun walikota menjadi medium bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Namun, esensi demokrasi ini seringkali luntur di tangan para organisator kampanye.

Bisa jadi karena uang, bisa juga karena fanatisme, bisa pula karena ketakutan (misalkan calon kepala daerah yang diusung adalah preman/mafia). Tim suksespun mulai mengubah arti kampanye sebagai edukasi politik untuk memenangkan kemuliaan visi politik tertentu, menjadi kumpulan ilusi untuk memelintir pengetahuan masyarakat. Seperti yang umum kita dengar: “politik itu ya menghalalkan segala cara”. Praktek seperti ini harus kita hindarkan.

Politik Daerah

Politik daerah sungguh berbeda dengan politik nasional. Dalam politik daerah, kepentingan penguasa bertemu langsung dengan kepentingan masyarakatnya, karena keduanya berada dalam lokasi yang sama, sekalipun kelas sosialnya berbeda. Ketika penguasa berkompromi dengan pengusaha tertentu, misalnya untuk menggusur masyarakat dari tanah yang mereka miliki, hal itu akan mudah terbaca. Dalam perpolitikan daerah, intrik lebih mungkin ditembus kritik. Mata lebih mudah melihat, demokrasi bisa lebih mendapat tempat.

Namun, edukasi politik daerah belum semantap politik nasional. Sentralisasi yang berlangsung sekian lama, yakni pada masa sebelum Reformasi 1998, membuat kemandirian politik daerah mandek. Pasca reformasi, otonomi daerah baru dimasifkan. Disitulah edukasi politik daerah mulai menjamur. Dalam hal edukasi politik daerah, Indonesia masih bayi.

Pernah belajar sejarah di sekolah? Penulis yakin yang Anda terima adalah pelajaran tentang kerajaan Majapahit, Sriwijaya atau Singosari. Anda tidak mendapat bab-bab yang sepenuhnya membahas tentang harajaon di tanah Batak, atau kerajaan Haru di tanah Melayu. Yang diberitahu adalah Sisingamangaraja XII itu pahlawan nasional. Pengajaran sejarah begitu terpusat pada kepentingan nasional. Padahal, sejarah adalah modal utama edukasi politik. Dalam sejarah, dinamika kekuasaan dibeberkan. Kenapa pengajaran sejarah di sekolah tidak memberi porsi besar terhadap sejarah daerah?

Soal wawasan terkait politik, masyarakat begitu diikat dengan temali kepentingan nasional. Ketika pilkada dicanangkan, terjadi kekosongan pengetahuan yang esensial untuk memaknai politik daerah. Para TS-pun membuka lapak. Pilkada jadi ajang obral instan aspirasi politik, entah itu 50 atau 100 ribu per kepala. Kalau begini caranya, orang miskin akan susah memasang wajah. Wajah mereka tertutupi oleh spanduk-spanduk para calon kepala daerah, yang dibuat dengan segudang biaya. Kemiskinan direduksi jadi ornamen penghias spanduk, menjadi teks “Demi Rakyat”, “Demi Kesejahteraan” atau “Demi Kemajuan”. Kemajuan siapa?

Para calon terpaksa mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Jika modal pribadi tak cukup, kontrak politik dijalin dengan para pebisnis. Muncullah list kebijakan-kebijakan pesanan, yang menyangkut pengamanan bisnis si pemberi modal. Maka, teks besar yang bersembunyi di balik teks kecil “Demi Rakyat” yang tertera pada spanduk, adalah teks “Demi Pemberi Modal”, teks “Demi Cukong”.

Cerdas Memilih

Problem masih belianya praktek masif otonomi daerah di Indonesia, begitu jelas. Minimnya wawasan politik daerah berbasis sejarah, membuat masyarakat menganggap pilkada sebagai momen bagi-bagi amplop semata. Padahal, dalam pilkada, masyarakat sedang mempertaruhkan regulasi-regulasi yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-harinya.

Seperti yang penulis utarakan sebelumnya, dalam politik daerah, intrik lebih mudah ditembus kritik. Dampaknya benar-benar berada di depan mata. Pilkada sesungguhnya lebih mungkin bersifat demokratis melebihi pemilu nasional. Kemungkinan itu hanya bisa terwujud apabila masyarakat menyadari esensinya sebagai subjek demokrasi.

Pemilu nasional itu persoalan garuda yang menempel di dada, pemilu daerah itu persoalan nasi yang masuk ke lambung. Masyarakat perlu melihat track record para calon, melihat tipe ekonomi-politiknya, apakah sesuai dengan lambung masyarakat. Tak perlu silau dengan amplop kampanye berisi 50 atau 100 ribu, itu sama sekali tak cukup mengobati lambung yang akan terluka selama satu periode kekuasaan. Itu tak mampu mengganti kerugian materiil yang diterima masyarakat apabila infrastruktur yang nantinya dibangun oleh penguasa terpilih, ternyata dibuat untuk para pebisnis-cukong (bisa jadi penduduk daerah atau negara lain!), bukan untuk masyarakat di daerah itu sendiri.

Pengajaran sejarah lokal yang memadai di sekolah adalah syarat mutlak terbentuknya masyarakat yang cerdas secara politik. Wawasannya menjadi dasar memahami dinamika kekuasaan daerah. Apa artinya NKRI tanpa sejarah nasional? Begitu pula perpolitikan daerah. Ini adalah tugas dan kebutuhan jangka panjang yang urgen untuk otonomi daerah. Namun, mengingat pilkada sudah di depan mata, maka indikator cerdas jangka pendek memilih calon yang tepat adalah kesesuaian tipe ekonomi-politik sang calon dengan pengisian lambung masyarakat setempat.

Selamat berdemokrasi! ***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 11 Agustus 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...