Bukan Kolam Susu, Ini Lautan Asap


Masih banyak orang yang ingat dengan lirik lagu dari grup musik Koes Plus, “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu...”, deretan kata yang dengan sederhana mengapresiasi kekayaan alam Indonesia. Kekayaan itu bukan sebatas lagu saja, alam Indonesia memang kaya, sudah selayaknya dimaknai sebagai anugerah. Namun hari ini, kekayaan alam justru jadi petaka.

Kemampuan alam Indonesia untuk memproduksi komoditas dimanfaatkan secara serakah oleh orang-orang tertentu. Demi menggenjot perekonomian, cara-cara picik dipraktekkan. Pembakaran hutan dilakukan sebagai jalan pintas untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit. Praktek ini telah berlangsung bertahun-tahun.

Api menjalar melahap lahan gambut, asap beterbangan ke segala penjuru, menjadi kabut asap yang menyerang pemukiman. Kabut asap, selama bertahun-tahun menjadi musibah yang diprotes, namun tak kunjung diproses. Tahun ini, menjadi tahun dengan kabut asap terparah.

Beberapa bulan lalu, seseorang dari istana negara dengan bangganya menyatakan bahwa bisnis sawit akan dikedepankan dalam perekonomian Indonesia, yang menghalangi akan “dibuldozer”! Padahal, bisnis sawit inilah yang jelas-jelas menyebabkan bencana, karena tak semua pebisnis sawit tahu dan mampu berbisnis sawit tanpa menghadirkan efek negatif yang meluas.

Bisnis sawit telah menjadi hegemoni, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Secara ekonomi, memang menggiurkan. Beberapa perusahaan besar memegang hak atas lahan yang sangat luas di kedua pulau ini, sudah seperti “kerajaan-kerajaan baru” yang berkuasa di tengah-tengah republik yang demokratis. Perusahaan-perusahaan besar ini layak dicurigai, seperti apa prakteknya di lapangan? 

Di samping itu, hegemoninya juga mempengaruhi pasar pertanian. Banyak pemilik tanah, para petani kecil, yang beralih ke tanaman sawit, demi hasil panen yang berharga tinggi. Tanaman sawit menjadi komoditas favorit pemilih tanah. Hegemoni bisnis mendorong homogenisasi tanaman sawit.

Tak pelak, praktek bakar-membakar hutan dianggap lumrah, karena banyak pelakunya, terjadi hampir di semua wilayah yang memproduksi sawit. Ketika harga CPO melemah, banyak orang yang kesulitan. Ketergantungan terhadap produksi sawit sangat tinggi hari ini. Ketergantungan itu sejalan dengan terbitnya kabut asap.

Kesulitan Bernafas
Yang diserang oleh kabut asap bukan hanya pemandangan, tapi juga pernafasan. Bernafas, hal paling penting bagi manusia, bahkan lebih penting dari makan dan minum. Setiap detik kita terpaksa menghirup asap, aktifitas paling mendasar dari fisik kita tercemari.

Atas dasar ini, kita bisa menyatakan kabut asap bukan musibah sepele. Sudah banyak korban berjatuhan, menderita ISPA, bahkan meninggal dunia. Yang paling menyedihkan adalah nasib anak dan balita, yang kekebalan tubuhnya masih rentan, namun terpaksa menghirup asap setiapkali bernafas. Bukan tak mungkin hal ini menggoreskan trauma psikis yang mengganggu mereka hingga dewasa kelak.

Kabut asap tahun ini melanda tiga pulau besar di Indonesia: Sumatera, Kalimantan dan Papua. Sederhananya, sebagian besar wilayah Indonesia terganggu. Kabut asap juga mengganggu wilayah negara lain. Banyak penerbangan yang ditunda, banyak aktivitas outdoor dibatalkan, bahkan sekolah diliburkan.

Masyarakat tak bisa memblokir sebaran asap ataupun mengendalikan lajunya. Masyarakat hanya bisa menghindar dan berupaya agar tak jatuh sakit. Tidak ada daya lawan, hanya ada pertahanan. Lantas, siapa yang bisa menghentikan kabut asap?

Bencana Nasional
Teknologi dan usaha untuk mengatasi kabut asap tak sebanding dengan dampak buruk kabut asap yang terus meluas. Pemerintah terlihat begitu menghemat, seakan-akan kabut asap ini bukan bencana yang terlalu besar. Bantuan-bantuan dari negara lain telah hadir, namun tak cukup menjadi jawaban.

Pemerintah masih enggan menjadikan kabut asap sebagai bencana nasional, dengan alasan, ini disebabkan oleh manusia, oknum dan perusahaan yang menjadi pelaku yang harus bertanggung jawab. Paradigma ini sungguh menggelisahkan penulis, kenapa malah berfokus pada pelaku? Kenapa tidak menaruh fokus pada korban? Melihat kerugian yang ditimbulkan, sudah selayaknya kabut asap diberi status bencana nasional. Lagipula, kehadiran perusahaan-perusahaan rakus pembakar lahan tak terlepas dari surat-surat izin yang pernah diterbitkan oleh pemerintah. Pemerintah mesti lebih bertanggungjawab dan lebih proaktif. Status bencana nasional akan membuat pemerintah bekerja maksimal mengatasi kabut asap.

Secara spekulatif, penulis juga melihat adanya kemungkinan lahan-lahan baru dibakar secara sengaja oleh lawan politik dari pemerintah yang berkuasa. Membakar lebih banyak hutan untuk memperburuk citra presiden Jokowi. Dalam politik, hal ini sangat mungkin terjadi, dan yang menjadi korban tentu masyarakat penghirup asap terus-menerus.

Jika kita memandang sekeliling, terlihat udara memutih, agak mirip kolam susu. Tapi ini putih yang membahayakan, hamparan udara tengah menjadi lautan asap. Bukan putih yang membugarkan tubuh, tapi putih yang mengancam nyawa. ***

(Andri E. Tarigan, Harian Analisa, 29 Oktober 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...