Jika Aksi 4 November Sepenuhnya Damai



Sebuah peristiwa menarik terjadi di pusat kota Jakarta pada 4 November 2016 lalu. Ra­tusan ribu orang berpakaian dominan putih, memadati jalanan strategis yang menghu­bungkan kantor-kantor pemerintahan dae­rah maupun nasional di ibu kota negara. Penulis melirik peristiwa ini dengan mengesampingkan prasangka politis, dalam skala lokal maupun nasional, lalu menuangkan hasilnya dalam tulisan ini.

Unjuk rasa yang terjadi telah dilabeli istilah “aksi damai” oleh beberapa pihak sejak sebelum aksi berlangsung. Benar, aksi berlangsung damai. Sejak pukul 10 pagi hingga pukul 6 sore, saat kemudian perwakilan pe­ngunjuk rasa diterima oleh wakil presiden dan mencapai kesepakatan, aksi masih berlangsung damai. Di pagi hari sebelum aksi, di titik kumpul massa, terlihat salah-satu peserta aksi membawa poster berwarna oranye-putih berukuran sedang, bertuliskan, “Buktikan Kita Damai”, poster itu terbukti.

Massa aksi kemudian bubar, namun masih ada yang bertahan. Tetap bersuara di malam hari dan tak lama kemudian terlibat kericuhan. Bisa dikatakan kericuhan terjadi pasca-pembubaran. Namun, kericuhan ini membuat aksi damai menjadi tak sepenuhnya damai.

Sempat dipuji 

Aksi 4 November sempat dipuji karena kemampuannya untuk tetap tertib dari awal sampai akhir. Akhir yang dimaksud adalah seputaran pukul 6 sore saat perwakilan massa dan pemerintah menjalin kesepakatan. Pujian datang dari elit politik maupun aparat yang bertugas mengamankan situasi. Tapi pujian-pujian itu kini mulai terasa hambar karena terjadi kericuhan pasca-pembubaran.

Tidak mudah untuk menjaga emosi dari massa berjumlah ratusan ribu orang yang berjalan kaki di panas terik matahari. Sekalipun ada briefing sebelum aksi yang mewajibkan setiap peserta aksi untuk menjaga kedamaian, hal-hal blunder mungkin saja terjadi. Resikonya cukup tinggi, kelengahan seseorang bisa menular ke yang lain. Belum lagi kalau misalnya ada orang-orang yang sebenar­nya tidak sejalan dengan agenda aksi namun melebur ke dalam massa aksi, kemungkinan akan membuat kacau agenda yang telah ditetapkan.

Resiko itu teredam, entah bagaimana cara­nya, mungkin terkait pada motivasi dan kekuatan yang menggerakkan orang-orang untuk mengikuti aksi 4 November 2016. Aksi dilakukan di Jakarta, namun massa berdatangan dari berbagai penjuru, dalam dan luar Jakarta. Keseluruhan massa tidak terlibat kericuhan saat berunjuk rasa selama kurang lebih tujuh jam aksi damai.

Instrumen demokrasi dalam hal ini dimanfaatkan dengan baik. Demokrasi memberi wadah bagi siapapun yang ingin me­nyuarakan aspirasinya, selama masih dalam kategori legal. Kalau ilegal, ya ditindak oleh aparat. Ketika penulis menonton aksi via layar kaca, melihat ratusan ribu orang memadati semua ruas jalan bundaran HI tanpa ricuh, penulis bergumam, “Ini people power, jarang terjadi.”

Tentu aksi ini menuai pro-kontra, tergantung preferensi politik orang yang memandangnya, sebagaimana aksi turun ke jalan lainnya. Itu resiko sekaligus keuntungan dari demokrasi, yakni lahirnya beragam kepen­tingan, yang mengakomodir beragam kebutuhan, yang membuat ragam masyarakat bisa tumbuh bersama di negara yang sama. Terkait label “Aksi Damai”, ada yang tetap memandang aksi itu sebagai aksi damai, namun ada juga yang memandangnya sebagai aksi yang pada akhirnya ricuh juga. Penulis lebih suka memakai istilah, aksi damai yang tidak sepenuhnya damai.

Setelah 4 November, perbedaan preferensi politik pemandang semakin terlihat, dari tanggapan-tanggapan yang telah digelontorkan. Apapun tanggapan itu, semoga tetap digelontorkan dalam ranah legal demokrasi.

Jika sepenuhnya damai 

Mari melangkah ke tataran global, karena mau tidak mau, aksi 4 November juga turut menjadi sorotan media internasional. Bagaimana tidak, Indonesia adalah negara demokrasi berpen­duduk muslim terbanyak di dunia dan aksi 4 November juga mengu­sung isu terkait agama.

Penulis juga mengajak untuk sejenak bergeser dari realita dan sedikit berandai-andai. Apa yang akan tergambar di mata global jika aksi yang diikuti ratusan ribu orang yang identik dengan agama ini sepenuhnya damai?

Jika aksi sepenuhnya damai, akan muncul garis lurus yang menghubungkan tiga kata: aksi, agama dan kedamaian. Kabar aksi damai akan memperkokoh bingkai berpikir bahwa aksi agama sejatinya damai. Anak-anak muda yang religius dari seluruh negara akan memperhatikan, dan mungkin spontan menentukan sikap. Agama tidak harus berujung perang (seperti yang berlangsung selama berabad-abad sampai sekarang), namun bisa dijalankan dengan lebih etis. Indonesia lantas disebut sebagai bukti. Kabar akan direproduksi oleh agamawan pecinta kedamaian dan menyebarkannya ke orang lain. Bisa menjadi alat meminimalisir radikalis­me aga­ma ataupun terorisme berlabel agama.

Itu tidak terjadi. Faktanya, aksi tidak sepenuhnya damai. Pengerahan massa dalam jumlah yang sedemikian besar, tidak dibare­ngi pembubaran massa yang efektif. Alhasil, ketika sebagian besar peserta aksi bersedia pulang untuk melaksanakan ritual ibadah ataupun menyantap makan malam karena me­mang sudah waktunya, tetap ada yang memilih bertahan dan akhirnya terlibat kericuhan. Media internasional hanya menyo­rot aksi ini sebagaimana aksi lainnya di negara demokrasi. Tidak ada value lebih yang digali.

Apakah aksi ini dapat dilihat sebagai lompatan maju dalam berdemokrasi? Rasanya tidak, karena momentumnya berlangsung begitu saja, aksi tidak menjadi rahim atas suatu ide yang mengisyaratkan kemajuan bermasyarakat. Hanya menunjukkan demo­krasi masih berjalan dan dimanfaatkan.

Berbeda halnya jika aksi dengan massa berjumlah besar ini, sepenuhnya damai. Misalnya tanpa kericuhan dan umpatan, Indonesia akan menjadi angin segar bagi negara lain. Menjadi counter bagi stigma yang mengaitkan terorisme dengan agama. ***

(Andri Ersada, Harian Analisa, 8 November 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...