Selesai Pilgubsu, Koran Lebih Bersih!

Resmi sudah KPUD Sumatera Utara mengumumkan bahwa pasangan Gatot Pujo Nugroho dan T Erry Nuradi (biasa disebut GanTeng) memenangkan pemilihan gubernur Sumut yang diadakan pada 7 Maret 2013. Pasangan GanTeng memperoleh suara sebanyak 33 persen atau 1.604.337 suara (Analisa, 16 Maret 2013). Berdasarkan keputusan ini, Gatot Pujo Nugroho akan kembali memimpin Sumut (incumbent). Sebuah keputusan penting untuk Sumut 5 tahun ke depan.
Pemilihan ini tak mulus begitu saja. Ada calon yang mengklaim menemukan kecurangan dan menuntut agar pilgub ditinjau ulang. Mereka adalah pasangan ES-JA dan Gus-Man. Kedua pasangan memiliki bukti yang dinilai sebagai kecurangan selama pemilihan berlangsung. Karenanya, mereka tidak dapat menerima keputusan KPUD sebagai hal yang sah. Hal seperti ini kerap terjadi dalam pemilihan-pemilihan. Bagaimanakah sikap media dalam menghadapi “seteru” ini?
Golput
Salah satu sorotan penting dari pilgub kali ini adalah angka golput yang sangat tinggi. Kurang-lebih setengah dari seluruh penduduk Sumut tidak menggunakan hak pilihnya. Alhasil, pilgub kali ini bukanlah pilgub yang mewakili suara mayoritas. Mayoritas rakyat Sumut tidak memilih siapa-siapa.
Beberapa elemen masyarakat mengaku, dalam perbincangan sehari-harinya, bahwa rendahnya tingkat pemilihan kali ini karena sedikit sekali tim sukses yang mengucurkan dana segar ke masyarakat. Dengan kata lain, pilgub kali ini minim money campaign, sekalipun masih tetap ada. Penulis memandang hal ini sebagai sebuah kemajuan. Artinya, para calon tidak lagi memanjakan masyarakat dengan kucuran amplop (uang), sekalipun ini berujung pada tingginya tingkat golput.
Rendahnya golput menunjukkan bahwa partai politik yang bermain dalam ajang pilgubsu tidak lagi mampu menjadi penggerak masyarakat. Padahal, partai selayaknya adalah badan yang mengakomodir rakyat, beserta aspirasi-aspirasinya. Atas tingginya golput di Sumut, eksistensi partai politik di provinsi ini perlu dipertanyakan.
Tingginya golput juga menjadi celah bagi pemerintah status quo, ataupun pihak berwenang lainnya, kalau-kalau ingin berbuat kecurangan dalam pemilihan. Kertas suara yang kosong, bisa jadi direkayasa. Ditambah lagi, banyak masalah dalam pembagian kartu pemilih. Peluang jelas ada terhadap penggelembungan suara.
Tak heran, ada calon yang berupaya melakukan penghitungan suara secara manual, diluar KPUD dan quick qount yang dilakukan media massa. Pasangan ES-JA telah melakukan penghitungan suara secara manual dan mendapati bahwa dirinyalah peraih suara terbanyak. Sebuah temuan yang berbeda dengan quick qount media yang menyatakan Gan-Teng unggul.
Dimanakah peran media massa dalam kontroversi-kontroversi seperti ini? Tentu media harus netral. Seperti apapun kondisinya, peran media adalah memotret dan mencatat realita. Bisa dikatakan, media harus berperan selayaknya seorang yang golput, tidak berpihak pada satu calonpun.
Pendidikan
Pilgubsu, dan momen sejenis lainnya, merupakan pesta politik sekaligus pendidikan politik bagi masyarakat. Dalam momen-momen seperti ini masyarakat bisa belajar banyak tentang realita kekuasaan yang sedang dan akan mengatur berbagai sektor kehidupan masyarakat. Dalam pesta demokrasi seperti inilah masyarakat belajar untuk menentukan keberpihakan. Maka, masyarakat membutuhkan informasi yang terpercaya.
Salah satu yang menjadi masalah dalam pengamatan penulis adalah berita-berita di media massa yang terbit tentang pilgubsu lebih menjadi corong kampanye calon-calon tertentu daripada menjadi liputan positif-negatif kampanye. Artikel-artikel yang ada tampak sebagai media pencitraan. Puja-puji terhadap calon digelontorkan sampai terkesan hiperbola. Ini terjadi selama masa kampanye menuju 7 Maret silam.
Model pemberitaan seperti ini berpotensi mengaburkan objektivitas masyarakat dalam memandang keadaan. Artikel yang penuh subjektivitas menjadi santapan masyarakat, mau tak mau, karena hampir semua koran menampilkan hal seperti itu. Koran tampak kotor. Masyarakat ternyata tak mau dibodoh-bodohi, mereka (mayoritas) memilih golput.
Melalui tulisan ini penulis berharap kepada semua media massa, terutama media cetak, agar tidak mengotori dirinya dengan maraknya artikel-artikel subjektif. Masyarakat butuh media, selayaknya media menanggapi kebutuhan tersebut dengan baik, dengan menampilkan artikel-artikel yang mendidik.
Pilgubsu 7 Maret telah berlalu dan pemenang dari kontes tersebut telah resmi diumumkan. Sekalipun  kedepannya ada perubahan-perubahan, termasuk tuntutan-tuntutan calon lainnya, media sebaiknya menampilkan objektivitas dan meminimalisir artikel-artikel subjektif. Jangan sampai realita tertutup oleh retorika dan trik politik yang pada ujungnya merugikan rakyat. Sejauh ini, paska 7 Maret, koran sudah terlihat bersih dibanding masa kampanye silam. Semoga kedepannya semakin bersih dan rakyat (pembaca) semakin terdidik. ***

(Andri E. Tarigan, harian Analisa, 23 Maret 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi!

4 Langkah Audit Perusahaan

Keuangan perusahaan tercatat dalam pembukuan akuntansi. Data yang tertera pada buku akuntansi perlu diuji secara berkala, untuk mencegah tim...